Senin, 21 Juli 2008

Pendapat-pendapat gue tentang....

Senin, 21 Juli 2008

1. Pelestarian bahasa Daerah
Lagi agak2 pengen bikin tulisan serius, nih. Selama ini, kan, gue hampir nggak pernah ngisi blog, sekarang giliran gue ngisi, gue pengen sedikit ‘bermutu’ tulisannya. Hahaha……Akhir2 ini banyak hal yang menjadi perhatian gue. Kalau orang2 pada mikirin tentang naiknya harga BBM, sekarang gue mau mencoba membahas tentang hal lain yang sebenernya agak ‘remeh’. Ini tentang pengguanaan bahasa Indonesia.
Topik ini sebenernya muncul waktu gue datang ke pidato Pak Dorojatun untuk tugas DKI, semester kemaren. Gue jadi kepikiran terus sampai sekarang. Jadi dalam pidato tersebut disebutkan bahwa bahasa2 daerah di Indonesia sekarang udah banyak yang diambang kepunahan karena tidak ada penuturnya. Bapak ini juga bilang kalau hal ini menjadi keprihatinan tersendiri untuk bangsa Indonesia.
Nah, yang sangat menarik minat gue adalah ketika Pak Dorojatun menceritakan kunjungannya ke sebuah daerah pedalaman di Aceh. Dalam kunjungan tersebut beliau bahkan harus menyertakan seorang penerjemah yang mengerti bahasa setempat karena penduduknya nggak ada yang bisa bahasa Indonesia. Dari sini gue mulai kepikiran: kenapa terdapat dua hal yang sangat kontradiktif dalam satu pidato ini? Awalnya pidato ini berusaha untuk memberi pengetahuan sekaligus ajakan untuk melestarikan bahasa daerah, tapi kenapa disertakan contoh kunjungan di Aceh, dimana dalam kalimat Bapak itu gue menangkap satu keprihatinan karena di daerah pedalaman di ujung Sumatra itu bahasa Indonesia belum terjamah oleh masyarakat setempat.
Masalahnya fakta tentang keadaan di Aceh itu bisa menjadi pertanyaan: sebenernya kita ini disuruh melestarikan bahasa daerah supaya nggak punah atau ingin menyebarkan bahasa Indonesia? Oke kalau mungkin yang dimaksud adalah setiap orang harus bisa minimal dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Itu bisa diterapkan pada anak2 di daerah, mereka menggunakan bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari dan bahasa Indonesia untuk bidang akademis atau untuk situasi yang lebih resmi. Tapi bagaimana jika kebijakan ini diterapkan di daerah terpencil, seperti di pedalaman Aceh tadi? Perlukah mereka menguasai bahasa Indonesia? Kalau jawabannya adalah perlu, maka dimana mereka akan mamakainya? Diantara orang-orang pedalaman, mereka pastinya akan berbicara bahasa daerah, dan mereka cenderung hidup terisolasi dengan komunitas mereka sendiri (contoh: suku Anak Dalam di Jambi atau Badui di Jawa Barat), dan pastinya tidak menerima pengaruh hal2 yang memaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia (misalnya sekolah dan buku2). Sementara kita tahu jika suatu bahasa tidak pernah dipakai, bahasa itu akan punah. Jadi ini gimana? Sebenarnya lebih pengen mana: bahasa daerah nggak punah, tapi di satu sisi ada sebagian orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau semua orang bisa bahasa Indonesia dengan resiko bahasa daerah hampir punah?
Well, menurut gue untuk bisa menyeimbangkan pelestarian bahasa daerah dan penguasaan bahasa Indonesia sosialisasi pendidikan itu penting. Artinya slogan “Wajar 9 Tahun” itu perlu diterapkan secara serius, nggak cuman sampai ke desa, tapi juga pedalaman. Mungkin untuk daerah pedalaman agak sulit jika sampai 9 tahun, tapi setidaknya cukup dengan diberi pendidikan baca-tulis, berhitung, dan pendidikan dasar.
Tapi lagi-lagi gue menyadari sebuah masalah tambahan: mau, nggak suku2 terasing itu menerima ‘perubahan’ ini? Gimana dengan Badui Dalam yang benar2 hidup terisolasi dari modernitas? Harus ada seorang Badui pula yang memberi pendidikan bagi anggota suku. Dan peluang satu2nya mungkin dari orang Badui Luar, itupun kalau si orang Luar ini diizinkan untuk mengajar di daerah suku tersebut, dan kalau si Badui Luar ini mau menerima perubahan dengan belajar Bahasa Indonesia.

2. Tiba-Tiba Mikir Pemilu Prancis 2007.....
Pikiran gue kayaknya lagi jalan banget, nih, jadi on untuk mikir yang serius-serius. Topik yang tiba-tiba menjadi ‘halangan’ dalam diri gue adalah soal pemilu presiden Prancis. Well, ini memang sesuatu yang sangat basi. Lebih basi dari pembahasan mengenai pernikahan si presiden, Nicolas Sarkozy, dengan Carla Bruni. Dan sekarang pun gue nggak akan membahas Monsieur Président, tapi pesaingnya, alias Ségolène Royal.
Menjelang kampanye presiden Prancis, keadaan memang mendadak rame banget. Meskipun ada calon-calon lain, tapi tetep aja orang terfokus pada Royal dan Sarkozy. Ibaratnya dulu adalah Barack Obama vs Hilary Clinton ketika merebut kursi perwakilan Demokrat. Memang masih ada McCain, tapi bukannya lebih seru ketika Obama bersaing dengan Hilary ketimbang sekarang McCain melawan Obama (karena banyak yang yakin Obama bakal menang)?
Yang pengen gue bahas di sini adalah kekalahan Madame Royal. Lupakan masalah bahwa dia adalah seorang perempuan yang menjadi alasan utama kenapa calon dari Partai Sosialis ini gagal menjadi orang no.1 di Prancis. Masih ada alasan lain yang sebenarnya ‘kecil’ tapi berpengaruh, yaitu fakta bahwa Royal tidak menikah.
Di majalah Vogue Amerika gue membaca bahwa Madame Royal adalah ibu dari empat orang anak, dimana sang ayah dari anak-anaknya ini adalah François Hollande. Royal dan Hollande memutuskan untuk tidak menikah sampai sekarang, meskipun si Madame nggak anti dengan pernikahan. Menurut gue keputusan Royal dan teman hidupnya, Hollande, untuk hidup bersama tanpa ikatan pernikahan adalah satu bumerang yang akhirnya berpengaruh terhadap kegagalan si Ibu yang masih cantik ini untuk jadi presiden.
Meskipun untuk kalangan orang Barat perniakahan bukanlah satu-satunya cara untuk membentuk sebuah keluarga, tapi tetep aja pernikahan dianggap sebagai jalan yang ‘baik’. Bukan berarti hidup bersama itu jelek, tapi penikahan dipandang lebih formal, karena ini melibatkan catatan sipil, otomatis negara tahu dan hubungan dua sejoli itu dianggap sah secara hukum.
Lalu apa hubungannya dengan kegagalan Royal? Si Ibu ini mengajukan diri sebagai calon presiden, otomatis dia harus menjadi role model bagi warga masyarkat. Dan menjadi model, artinya harus mencoba untuk memberi citra sebaik mungkin. Salah satu citra itu dapat dibangun dengan pernikahan.
Masyarkat ingin agar pemimpin mereka dapat menjadi warga negara yang baik, yang taat pada aturan ‘seharusnya’, meskipun pada akhirnya bisa menimbulkan kesan kolot. Tapi sampai sekarang kesan ‘ketinggalan zaman’ itu terlanjur tertanam dalam diri banyak orang. Jadi dengan tidak menikah, Royal memang memberi kesan yang ‘biasa’ bagi orang-orang Barat, termasuk Prancis. Padahal yang dibutuhkan adalah sesuatu yang ‘spesial’ dan ‘baik’. Kalau dia adalah mentri atau pemimpin partai, itu nggak masalah, tapi dia adalah presiden. Seharusnya presiden menjadi teladan dengan menaati aturan ‘lama’ yang dianggap kolot tadi. Toh, pernikahan itu masih dianggap sebagai jalan yang ‘baik’.
Di lain pihak dengan tidak menikahnya Royal maka otomatis dukungan dari golongan agamawan dan konservatif akan berkurang. Meskipun jumlahnya mungkin nggak banyak-banyak banget (mengingat orang-orang Barat juga udah nggak terlalu peduli dengan agama), tapi cukup memberi pengaruh juga. Jika minus golongan agamawan dan konservatif, Sarkozy dan Royal sama baiknya, dan didukung oleh orang yang sama banyaknya, maka suara dari dua golongan minoritas ini akan diberikan pada Sarkozy, mengingat dia menikah.


Sebenarnya masalah yang gue bahas ini cukup sepele. Bukan segede masalah tentang kenaikan harga BBM, maupun tentang pornografi yang booming banget. Tapi ketika kita dihadapkan pada sebuah masalah besar, kita cendeung melupakan masalah remeh-temeh. Padahal justru masalah ‘kecil’ inilah yang memicu masalah besar, atau kalaupun nggak jadi besar bisa menjadi duri dalam daging. Bener, nggak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar