Selasa, 04 Agustus 2009

People Say: Ini rumahnya JK!

Udah pernah main ke kawasan Villa Tidar di Malang? Kalau belum, nggak ada salahnya mampir ke perumahan itu. Selain ada kampus Universitas Ma Chung (universitas yang kerja sama dengan Cina), yang mirip kampus Meteor Garden (mewah, tapi sepi banget!), juga ada rumah-rumah mewah yang bertebaran di perumahan elit itu. Well, it reminds me of Pondok Indah. Bedanya Villa Tidar ini nggak macet kalo sore-sore kayak di PI.
Selain rumah-rumah dan kampus elit, kawasan Tidar ini juga punya bangunan yang layak untuk dilihat. A giant iconic building. Giant? Yup, soalnya bangunannya memang ‘raksasa’, lebih gede dari rata-rata rumah di komplek itu (padahal rumah-rumah di sana udah segede rumah PI, jadi bisa bayangin bangunan ini segede apa?). Mungkin lebih pas kalau rumah ini dikatakan sebagai kastil. Not only because of the size, but also the design. Kastilnya beneran mirip sama kastil di dongeng-dongeng. Bangunannya tinggi, didingnya full dari batu, ada menaranya pula! Udah kayak film Robin Hood, deh, pokoknya.
Lucunya meskipun berada di perumahan elit, letak kastil ini bukan di daerah yang banyak rumah mewahnya, tapi di jalan yang rumahnya ‘wajar’ aja (mungkin diperuntukkan bagi mereka yang biasa-biasa aja, tapi pengen punya rumah di kawasan elit). Maksudnya rumah-rumah khas perumahan biasa, bukan termasuk rumah mewah. Dibaindingkan dengan deretan rumah à la PI aja, kastil ini mecolok banget, apalagi dibandingin rumah-rumah ‘biasa’, tambah mentereng aja.
Gosipnya, kastil ini adalah salah satu rumah milik Jusuf Kalla. Bahkan pernah, lho, jalan menuju kastil ditutup gara-gara Pak JK dateng! Waduh, waduh, sampai segitunya. Dibandingkan dengan rumah JK di Menteng, kastil ini lebih gede, lebih nge-jreng. Rumahnya JK di Menteng, kan, masih berwujud rumah, kalau yang ini beneran udah bukan rumah. Ini istana!
Kalau iseng muter sampai belakang kastil ini, bakal terlihat pemandangan yang unik sekaligus aneh. Bagian belakang kastil ini terlihat seperti Tembok Besar Cina. Bedanya kalau tembok Cina berwarna putih, yang ini abu-abu. Tinggi bangunannya juga di atas rata-rata rumah-rumah di sekelilingnya. Ibaratnya kalau ada maling, udah capek duluan, tuh, manjat dinding setinggi itu.

Urusan masuk ke rumah ini tergolong ribet, karena musti lapor dulu (kayak mau masuk kantor aja…). Selain ada satpam, juga ada kaca di depan pintu yang kayak di hotel-hotel, buat ngecek kendaraan yang masuk. Karena nggak bisa langsung nyelonong, nggak heran juga kalo banyak yang bilang ini rumahnya JK (as we know dia orang penting di negri ini). Soalnya rata-rata rumah di situ ‘terbuka’ aja buat semua orang (bahkan mungkin maling juga).

It was the first time saya ngeliat bangunan seaneh ini. Kalau banunan ini adalah keraton, dan letaknya bukan di perumahan, sih, oke aja, ya. Lha, ini?! Saya nggak tau maksudnya pemilik kastil ini (entah itu Pak JK atau bukan) membangun bagunan gede bin ajaib begini. Apa mungkin dia udah kebanyakan duit? Biasa bangun rumah, sekarang nyari lahan buat buang duit: membangun kastil. Besok-besok, sekalian aja bangun istana, lengkap dengan taman, puri, sekalian sama prajuritnya. It will be great, kalo letaknya di deket Monas, biar saingan sama tugu gede itu.

Selasa, 28 Juli 2009

Es krim Rp 60.000

Es krim Rp 60.000?

Mmmm…kalau es krim segini di Senayan City, sih, wajar aja, ya. Atau 60.000 untuk Häagen-Dazs juga udah nggak heran. Tapi gimana kalau es krim seharga 60 ribu dikemas dalam gelas super kecil dari plastik, dan dimasukkan dalam kotak karton putih yang label tokonya cuman cap doang (dalam arti box-nya nggak didesain khusus untuk toko itu, tapi box putih yang bisa beli di pasar, biasa buat membungkus makanan warteg)? Yang lebih parah, rasanya nggak creamy sama sekali, dan lebih mirip es krim keliling (yang harganya 2000 sampai 3000-an). Tambahan lagi, beli es krim begini bukan di mall elit, tapi di sebuah toko ‘biasa’, dan bukan di kota besar pula! Masih tega ngeluarin 60.000 untuk es krim?

Kalau saya, jelas nggak tega. Tapi ternyata saya ‘dijebak’ untuk tega ngeluarin 60.000 buat es krim. Memang, sih, bukan satu es krim, tapi tiga. Itu pun sebenernya bukan 60.000 ‘murni’, tapi 57.750 (beda-beda tipis, lah, ya, sama 60.000).

Jadi, ceritanya begini…..

Tanggal 26-27 Juli 2009, saya dan keluarga pergi ke Malang. Sebenernya ini efek dari Gresik, karena kakak saya nikah. Mumpung udah di Jawa Timur, dan kebetulan adiknya bapak saya tinggal di Malang, saya dan keluarga pun sepakat ke kota berhawa sejuk itu.
Sebagai turis, pastinya selalu mencari sesuatu yang khas dari tempat yang dikunjungi. Nah, mumpung di Malang kami sekelaurga pun nyari-nyari apa yang unik dari kota pelajar ini. Apel? Udah pernah. Bakso Malang? Udah nyoba juga (meskipun nyoba bakso ini pas di Malang juga). Maka akhirnya pilihan jatuh ke salah satu landmark Malang yang banyak dibicarakan di media: Toko Oen.
Saya pernah baca di sebuah majalah kalau toko Oen ini memang terkenal, bahkan sampai ke manca negara. Bangunan yang terletak di Jl. Basuki Rachmat, Malang ini katanya punya nilai historis yang tinggi. Gimana enggak, Toko Oen adalah satu di antara sedikit toko di Indonesia yang udah buka dari zaman kolonial, dan sekarang masih tetap berdiri. Hebatnya, bangunan, interior, sampai furnitur-nya masih asli seperti ketika toko ini pertama dibuka.
Penasaran dengan si Oen ini akhirnya kami sekeluarga pun tertarik mencoba. Cuman berhubung waktu kunjungan kami ke Malang sangat mepet, maka kami memutuskan untuk tidak makan di dalam restorannya, maksudnya es krim-nya dibungkus. Yang ingin dilihat hanya: kayak gimana, sih, Toko Oen yang beken ini.
Dari luar, toko ini terlihat mencolok karena bangunannya beneran kuno (dibandingkan dengan sekelilingnya yang udah modern). Tulisan tokonya pun masih asli banget: dengan tulisan timbul warna merah Toko „Oen‟ (bahkan tanda baca-nya pun masih pake aturan dari bahasa Belanda). Bangunannya bercat putih, dengan lantai yang belum keramik.
Hawa jadul bakal terasa banget kalau masuk ke dalam toko. Tulisan di toko ini masih menggunakan bahasa Belanda, begitu juga di daftar menu-nya (meskipun udah dikasih terjemahan bahasa Inggris dan Indonesia). Kursi dan mejanya pun masih sangat jadul (kursi dari anyaman bambu). Di dalam toko, kita diiringi ‘tembang kenangan’ lawas berbahasa Belanda (mungkin lagu tahun 30-an). Tambah kuno lagi karena pakaian pelayannya cuman rok/celana hitam dan kemeja putih lengan panjang. Bahkan ada yang pake peci segala. Jadul banget, kan?
Kebetulan waktu saya ke toko ini sedang ada rombongan turis dari Belanda. Mereka bahkan mengisi sekitar 95% kursi di toko itu. Jadi, ketika saya dan adik saya masuk, kami justru seperti jadi ‘bule’. Yang lebih seru, pelayannya di toko ini sepertinya juga ‘wajib’ fasih berbhasa Belanda. Karena salah satu turis yang duduk di kursi depan saya memesan sesuatu ke pelayannya dengan bahasa Belanda.
Saya dan adik langsung pesan es krim vanilla, durian, dan coklat. Dalam bayangan saya, ketiga es krim ini bakalan creamy banget. maklum ini, kan, toko jadul dengan resep yang masih jadul pula. Pikiran saya langsung melayang ke es krim Ragusa di Jakarta yang sama-sama jadul.
Setelah menunggu, akhirnya mas pelayannya ngasih kotak berisi es krim yang saya pesan. Kami berdua (saya dan adik saya) bergegas pulang, karena memang waktunya memept banget. Kami buka kotak putih dengan cap Toko Oen itu di mobil. Betapa kagetnya kami ketika tahu kalau tiga es krim yang kami pesan itu hanya berwujud gelas plastik kecil.
Oke, mungkin dalam gelas kecil ini tersembunyi es krim yang creamy, dan lumer di mulut. Tapi es krim single scoop ini ternyata nggak creamy sama sekali! Bahkan rasa susunya pun nggak dominan, dan lebih banyak rasa manis yang mirip banget sama es krim buat kondangan. Waduh…..padahal udah keluar 60.000.

Saya jadi agak nyesel. Sebenernya nggak masalah, sih, kalau 60.000 itu rasanya beneran ‘nendang’ banget. Yah, meskipun kemahalan, tapi untuk es krim yang harganya dipatok harga turis begitu, okelah. Cuman, yang ini, agak kebangetan juga. Es krim dengan rasa yang biasa, harganya luar biasa!
Kalau melihat toko ini, memang di-set khusus untuk turis, terutama yang bule. Kalau pengen ke toko Oen untuk berwisata kuliner, kayaknya kurang pas. Rasa es krimnya cuma ‘gitu doang’, dan menu lainnya pun standar aja (roti tawar, bistik). Tapi untuk mengenal sejarah, dan bernostalgia, sih, oke lah. Lebih menarik kalau buat bule dari Belanda, karena susana Oen memang ‘Kompeni banget’. Nggak heran kalau Toko Oen ini menjadi salah satu warisan budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Bukan untuk wisata kuliner, tapi wisata sejarah.

Jogja Pemalas vs Vredeburg

Kamis, 23 Juli, saya dan temen saya, Icha, jalan-jalan ke Jogja. Buat sebagian orang perjalanan dua propinsi (kan, saya di Jawa Tengah) ini bukanlah sebuah perjalanan yang ‘sebenarnya’, soalnya jaraknya emang deket. Ibaratnya, dari Jogja ke Solo itu kepleset pun nyampe.
Karena saking terikatnya dua kota ini, nggak heran kalau akhirnya dibuatlah kereta yang rutenya khusus Solo-Kutoarjo (yang melewati Jogja, pastinya). Si Pramex alias Prambanan Express adalah nama kereta yang mondar-mandir Solo-Jogja. Kereta ini ada tiap jam. Paling pagi kalau nggak salah jam setengah tujuh, dan paling malam, setahu saya jam setengah delepan malam. Dulu, kereta Pramex ini gerbongnya ‘seadanya’ (baca: udah butut). Sekarang kereta-kereta dengan gerbong jadul ini masih dioperasikan (dan kalau lagi apes, ya, kebagian naik kereta jadul), tapi udah lebih banyak kereta baru.

Back to may road.

Pramex yang saya tumpangi berangkat dari stasiun Palur (stasiun yang paling deket dengan rumah), jam 8.30 pagi. Untung buat saya karena keretanya bagus (bukan gerbong butut), dan tempatnya kosong (harap maklum, Palur adalah stasiun pertama sebelum lanjut ke stasiun-stasiun lainnya). Dari Palur ini kereta akan berhenti di Jebres, Solo Balapan, dan Purwosari, sebelum benar-benar keluar dari Solo.
Saya ketemu temen saya di stasiun Purwosari. Lucky me, bangku sebelah kiri saya ternyata kosong, jadi Icha bisa duduk di sebelah saya. Setelah meninggalkan Purwosari, kereta bakal berhenti lagi di Klaten, lalu mulai masuk Jogja lewat Maguwo (ini stasiun deket Bandara Adi Sutjipto).
Perjalanan naik kereta ini memakan waktu satu jam. Kalau diibaratakan di Jabodetabek, kira-kira sama seperti Stasiun UI-Stasiun Kota. Malahan kayaknya lebih deket Solo-Jogja. Tujuan akhir saya adalah Stasiun Tugu, yang merupakan stasiun pusat di Jogja.
Sampe di Tugu, sekitar jam sepuluh pagi. Kedaan yang pertama saya liat: sepi. Mungkin karena kemaren adalah hari kamis, yang memang bukan week-end. Sepinya Tugu ternyata juga berimbas ke Malioboro, kawasan wisata di Jogja yang letaknya deket banget sama Tugu.
Saya dan Icha sampe heran banget, karena belum ada satu toko pun yang buka! Jangankan toko-toko kecil yang jual suvenir, pasar swalayan pun masih tutup. Buat saya ini adalah pengalaman yang baru, karena baru pertama menjejakkan kaki di Malioboro pada hari kerja, dan jam sepuluh pagi. Pemandangan Malioboro yang bak kuburan (saking sepinya) ini kontras dengan pemandangan kota asal saya, Solo, yang aktivitasnya udah mulai dari jam sembilan pagi. .
Tapi seru juga melihat Malioboro yang sepi begini. Menurut saya justru terlihat lebih ‘asli’, daripada keadaan pas udah rame banget karena pedagang dan turis. Jalan-jalan di sekitar trotoar juga lebih nyaman karena belum ada ‘pasar tumpah’.

Tujuan utama kami di Jogja sebenernya nggak ada. Jadinya kami tinggal ngikutin mood dan kemana kaki melangkah. Dan ternyata kaki kami melangkah ke benteng Vredeburg. FYI, meskipun Jogja adalah ‘tetangga’ saya, saya belum pernah sekali pun ke Vredeburg!
Sebelum ketemu benteng itu, kami lebih dulu melewati taman gede (yang sepi). Di taman ini ada bangku dan lampu-lampu. Menurut saya tamannya bagus, lumayan bersih, enak buat foto-foto (it’s a must).
Once again, saya baru tahu kalau masuk ke dalam benteng adalah Museum Serangan Umum 1 Maret. Untuk masuk ke museum ini pengunjung hanya dikenakan tarif 750! Murah banget, kan? Sayangnya meskipun udah semurah itu, tetep aja pengunjungnya sedikit (lebih milih masuk mall kali, ya, yang gratis, kalau nggak pake parkir).
Apa yang bisa dilihat di Musuem SU? Nggak lain adalah bukti-bukti sejarah (yah, emangnya di museum bisa liat apa lagi?). Di sini, sejarah digambarkan bukan lewat benda-benda peninggalan sejarah, tapi lewat diorama dan beberapa foto. Kebanyakan diorama menggambarkan perjuangan pahlawan yang terjadi di Yogyakarta.
Masuk ke ruang pameran diorama utama, saya dan Icha disambut dengan lagu. Saya lupa judul lagunya, tapi yang jelas lagunya udah nggak asing di telinga. Ruang pamernya cukup besar, dan yang lebih seru ruangannya bersih dan bagus. Saya bisa bilang ruang pamernya dipelihara dengan baik. Ini bisa dilihat dari tempat diorama yang ditutup kaca, bersih banget, nggak berdebu. Penerangannya juga baik. Meskipun nggak terang benderang, ya, tapi menurut saya cocok untuk museum dengan tema ‘perjuangan’ begini. Sayangnya, seperti layaknya musuem, nggak boleh motret. Jadinya nggak bisa mengabadikan koleksi museum SU ini.
Diorama yang ditampilkan sangat beragam. Ada diorama yang menggambarkan peristiwa Perang Diponegoro, lengkap dengan foto tempat pengasingan pahlawan nasional tersebut. Yang lainnya, merupakan diorama rapat Jong Java di Jogja, pemogokan buruh pabrik gula (saya bahkan baru tahu ada peristiwa sejarah seperti ini!), pendirian Muhammadiyah, pendirian Taman Siswa, dan pelantikan Hamengkubuwono IX.
Melihat koleksi museum ini, saya jadi mikir, niat banget, ya, yang bikin diorama ini. Meskipun nggak sama persis dengan foto tokoh-tokoh sejarah, tapi detail yang ‘dicetak’ untuk diorama, cukup bagus. Untuk sosok pangeran Diponegoro, misalnya, dicetak lengkap dengan surban lilit yang biasa kita lihat di lukisan pangeran Diponegoro. Begitu juga dengan baju-baju yang dipakai boneka-boneka lainnya, dibuat semirip mungkin dengan fotonya.

Secara keseluruhan, saya beri nilai 7, lah, untuk museum SU ini. Soalnya meskipun penataannya oke dan isinya sangat bermanfaat, tapi memang kurang menarik dibandingkan museum-museum lain. Ada bagusnya, sih, kalau museum SU ini menambah koleksi dengan benda-benda sejarah, atau foto-foto yang lebih variatif. Kalau perlu ada galeri yang isinya foto-foto jadul.
Sayang banget kalau museum ini nggak mengembangkan diri. Soalnya secara bangunan, museum SU ini keren! Halamannya rindang banget, gedungnya juga kuno seperti layaknya bangunan zaman kolonial. Buat foto-foto? Puas banget…….(saya pun memafaatkan halamannya buat ber-narsis ria).

Kamis, 16 Juli 2009

Mentang-Mentang Jelek

Tak gendong, kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
Enak Tho,
Mantheb Tho


Itu adalah cuplikan sedikit dari lirik lagu “Tak Gendong-Gendong” dari penyanyi Mbah Surip. Nama ini sekarang memang lagi ngetop banget, dan jadi fenomena tersendiri. Beberapa koran dan majalah memrofilkan sosok Mbah Surip. Bahkan kakek nyentrik ini juga diundang ke acara talk show dari stasiun tv yang cukup ‘serius’, TVOne.
Fenomena Mbah Surip dengan lagu ‘ajaib’ ini juga menjalar sampai ke pengguna ponsel. Ring back tone (RBT) “Tak Gendong-Gendong” termasuk yang paling laris dipakai handphone-ers. Padahal kalau dilihat lebih jauh, sosok Mbah Surip ini justru menawarkan hal yang ‘buruk’, dalam arti yang sebenernya. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan citra dunia hiburan yang menjual mimpi, semua serba bagus dan keren.
Well, sebelum muncul Mbah Surip sebenernya sudah ada ‘pendahulunya’. Para ‘senior’ Mbah Surip ini juga menggunakan pola yang hampir sama: melawan arus. Arti melawan arus di sini bukan cuman ‘tampil beda’, tapi justru menyajikan hal yang kontradiktif dari yang udah pakem selama ini. Orang-orang seperti Mbah Surip membuat ‘aturan’ sendiri tentang apa yang kayaknya mustahil dicoba di pasar.

Berjudi
Saya nggak tahu pasti sejak kapan demam orang-orang ‘ajaib’ ini melanda Indonesia. Cuman yang jelas, saya merasakan banget munculnya trend ini ketika ada Tukul. Sosok pelawak ini berhasil mengangkat ‘kodrat’ orang jelek. Maaf, ya, kalau bahasanya agak kasar, tapi memang begitulah realitanya.
Sebelumnya ‘orang jelek’ dicitrakan sebagai sebuah lelucon. Misalnya dengan orang-orang yang (sorry, nih) cebol. Mereka sering tampil di TV, tapi dikondisikan sebagai orang cebol yang memang ‘tidak sempurna’. Peran yang ada di TV pun nggak terlalu besar, dan lebih menekankan pada sosok cebol itu. Jadi seolah mereka masuk TV hanya sebagai ‘penggembira’ dan ke-cebolan mereka itu diekspos untuk jadi sebuah komoditi yang bercitra ‘jelek’.
Lain halnya dengan Tukul. Meskipun orang Semarang ini juga diekspos sebagai sosok yang jelek secara fisik, tapi Tukul malah berhasil membuat acara Empat Mata yang laris banget. Dalam hal ini mungkin pendongkrak awal adalah Tukul yang jelek (melawan mainstream), tapi kejelekkan Tukul ini tidak serta-merta membuat dia hanya bertahan sebagai orang jelek saja. Dia bisa menjadi centre of attention, bukan hanya karena kejelekkan dia, tapi juga karena yang dia lakukan ‘beda’, dalam arti postif (bikin talk show yang kocak).
Hal yang sama terjadi juga dengan Kangen Band. Kelompok musik asal Lampung ini tidak hanya menjual anggotanya yang ‘ngampung’ itu, tapi juga menjual sesuatu yang ‘ngampung’, tapi postif (bikin lagu). Jadi intinya citra yang dibangun oleh golongan ‘jelek’ ini tetap bertumpu pada kejelekkan, tapi bukan diekspos dari sisi yang negatif (seperti orang cebol tadi).
Pada awalnya mengorbitkan ‘orang jelek’ bisa dibilang sebagai perjudian. Gimana enggak, mencetak citra ‘jelek’ tapi bisa berbuat positif, dan (yang lebih penting) diterima masyarakat adalah hal yang melawan arus. Apalagi di dunia hiburan, yang mendewakan kesempuranaan fisik. Kalau cuman ngorbitkan cowok-cowok cakep, sih, gampang aja. Tapi gimana dengan mereka yang nggak cakep? Ini jadi tantangan tersendiri.
Modal nekat dan siap rugi nggak cukup untuk jadi landasan mengorbitkan yang anti-mainstream begini. Butuh kejelian membaca pasar. Jadi nggak asal ngorbit. Saya salut banget sama orang-orang yang berani ‘judi’ begini. Walau sekilas mereka terlihat kayak orang bego yang nekat, tapi sebenernya mereka orang-orang sangat selektif, lho.
Pengorbit begini bisa-bisanya ngeliat celah yang jarang dilihat orang lain. Dalam kaitannya dengan pasar, mereka melihat ada satu range masyarakat yang tidak terjamah. Dasarnya aja lah, tiap manusia, kan, punya idola dan role model. Kriteria untuk menjadi role model berbeda di tiap individu. Tapi yang jelas ada kesamaan antara role model dan mereka yang mengidolakan.
Ini berlaku untuk beberapa band yang dianggap alay (saya termasuk yang beranggapan demikian). Pasar yang ingin dituju adalah mereka yang memang berasal dari kelas menengah ke bawah. Dan ternyata apa yang dilakukan pengorbit itu efektif. Kenapa akhirnya Kangen Band bisa diterima oleh masyarakat (yang mayoritas kelas bawah)? Karena sosok personil-personil Kangen sangat dekat dengan masyarakat kelas bawah: band ngampung, yang seolah mewakili para alay.

Komoditas yang Menjanjikan
Kalau mungkin di awal-awal kemunculan Kangen Band, masih sedikit orang yang mau ‘berjudi’ dengan mengorbitkan band ngampung, maka sekarang pengorbitan model begini justru jadi tren. Nggak selalu band, sih. Intinya berusaha mendongkrak popularitas mereka-meraka yang ‘jelek’ ini, terkadang sengaja diekspos kejelakannya, lalu dicari sesuatu yang positif untuk ditunjukkan. Sekarang bisnis begini menjadi suatu tren yang menjanjikan.
Mengapa pasar sangat responsif dengan orang-orang ‘jelek’ begini? Karena ada tuntutan untuk mencari hal yang ‘lain’. Kalau saya liat, sih, sekarang ini ada tuntutan untuk menyediakan berbagai pilihan buat masyarakat. Jadi pada akhirnya semua selera masyarakat bisa terpenuhi. Nggak seperti dulu, yang kalau lagi demam disko, semua ber-ajojing.
Selain itu dampak ‘penasaran’ menjadi penting. Ini didasarkan pada reaksi awal masyarakat ketika mengetahui ada hal yang beda. Kalau dalam hal ini unsur suka-nggak suka tidak menjadi suatu hal dominan. Media dan pengorbit memanfaatkan pasar yang sedang penasaran. Kesempatan ini digunakan untuk mengeruk uang dan popularitas. Kalau nantinya nggak akan bertahan lama, nggak jadi masalah. Toh, efek popularitas yang masif, meskipun sesaat, tetap memberikan keuntungan.
Kalau menurut saya teori yang dijabarkan di atas cocok untuk menggambarkan fenomena Mbah Surip. Pengorbit kakek berambut rasta ini memanfaatkan sosok yang ‘unik’, dan ‘jelek’ untuk memancing pasar. Ternyata pancingan pengorbit berhasil. Masyarakat penasaran, dan akhirnya media pun beramai-ramai mengulas Mbah Surip ini.
Kalau dilihat dari segi mana Mbah Surip ini bisa menjadi fenomena, saya rasa fisik dan lagu saling terkait. Kalau lagunya Mbah Surip sejenis dengan D’Masiv, misalnya, rasa penasaran orang hanya akan berhenti pada sosoknya aja. Karena nggak ada yang lain dari kakek yang ngomongnya ngelantur ini, selain fisiknya. Tapi karena lagunya yang ‘nggak biasa’ (sebenernya lagunya lebih tepat dibilang nggak oke), orang-orang jadi tertarik.
Kalau hanya lagu yang ‘aneh’ pun nggak bisa jadi magnet. Apalagi sebenernya “Tak Gendhong-Gendhong” ini dari segi musik kurang menjual. Tapi karena ada sosok Mbah Surip yang ‘nggak tau malu’ begitu, jadilah lagunya terdongkrak. Intinya, sih, antara Mbah Surip sebagai penyanyi nyentrik dengan lagu ‘ajaib’-nya itu saling membutuhkan lah.

Trend Sesaat (?)
Pertanyaan yang kemudian muncul, fenomena ‘orang jelek’ begini berdampak positif atau negatif? Banyak yang bilang negatif, apalagi untuk urusan musik. Tapi kalau buat saya, sih, bisa dua-duanya. Tergantung darimana melihatnya.
Sebenernya fenomena begini, kan, secara sosial bagus. Maksudnya sudah ada kecenderungan masyarakat untuk terbuka terhadap perbedaan. Ada kesadaran dari masyarakat tentang pluralitas. Tidak ada suatu doktrin ‘mati’, bahwa dunia hiburan harus diisi wajah ganteng dan cantik. Ibaratnya sekarang siapa aja bisa jadi artis.
Tapi kalau untuk kualitas, mungkin jadi negatif. Misalnya aja dengan adanya musik yang (katanya) kacangan. Juga bakal muncul budaya instan. Ini didasarkan pada pasar yang makin terbuka, sehingga yang ‘ecek-ecek’ pun tetep laku. Bahkan dampak negatif juga menyangkut kelangsungan tren ini.
Mungkin kita melihat bagus kalau tren ‘orang jelek ngetop’ ini selesai. Dan memang kayaknya fenomena ini berpotensi untuk tidak bertahan lama. Tapi kalau saya melihatnya justru jangan cepat selesai. Dalam arti, fenomena ini diliat bukan sebagai trend ‘mentang-mentang jelek’, tapi dilihat sebagai tren keberagaman. Nah, supaya tetep berlangsung tren keberagaman, maka harus ada kesadaran juga dari ‘yang jelek-jelek’ itu untuk meningkatkan kualitas. Jangan hanya karena sekarang orang jelek lagi laku, terus kualitas minim, ya.