Kamis, 16 Juli 2009

Mentang-Mentang Jelek

Tak gendong, kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
Enak Tho,
Mantheb Tho


Itu adalah cuplikan sedikit dari lirik lagu “Tak Gendong-Gendong” dari penyanyi Mbah Surip. Nama ini sekarang memang lagi ngetop banget, dan jadi fenomena tersendiri. Beberapa koran dan majalah memrofilkan sosok Mbah Surip. Bahkan kakek nyentrik ini juga diundang ke acara talk show dari stasiun tv yang cukup ‘serius’, TVOne.
Fenomena Mbah Surip dengan lagu ‘ajaib’ ini juga menjalar sampai ke pengguna ponsel. Ring back tone (RBT) “Tak Gendong-Gendong” termasuk yang paling laris dipakai handphone-ers. Padahal kalau dilihat lebih jauh, sosok Mbah Surip ini justru menawarkan hal yang ‘buruk’, dalam arti yang sebenernya. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan citra dunia hiburan yang menjual mimpi, semua serba bagus dan keren.
Well, sebelum muncul Mbah Surip sebenernya sudah ada ‘pendahulunya’. Para ‘senior’ Mbah Surip ini juga menggunakan pola yang hampir sama: melawan arus. Arti melawan arus di sini bukan cuman ‘tampil beda’, tapi justru menyajikan hal yang kontradiktif dari yang udah pakem selama ini. Orang-orang seperti Mbah Surip membuat ‘aturan’ sendiri tentang apa yang kayaknya mustahil dicoba di pasar.

Berjudi
Saya nggak tahu pasti sejak kapan demam orang-orang ‘ajaib’ ini melanda Indonesia. Cuman yang jelas, saya merasakan banget munculnya trend ini ketika ada Tukul. Sosok pelawak ini berhasil mengangkat ‘kodrat’ orang jelek. Maaf, ya, kalau bahasanya agak kasar, tapi memang begitulah realitanya.
Sebelumnya ‘orang jelek’ dicitrakan sebagai sebuah lelucon. Misalnya dengan orang-orang yang (sorry, nih) cebol. Mereka sering tampil di TV, tapi dikondisikan sebagai orang cebol yang memang ‘tidak sempurna’. Peran yang ada di TV pun nggak terlalu besar, dan lebih menekankan pada sosok cebol itu. Jadi seolah mereka masuk TV hanya sebagai ‘penggembira’ dan ke-cebolan mereka itu diekspos untuk jadi sebuah komoditi yang bercitra ‘jelek’.
Lain halnya dengan Tukul. Meskipun orang Semarang ini juga diekspos sebagai sosok yang jelek secara fisik, tapi Tukul malah berhasil membuat acara Empat Mata yang laris banget. Dalam hal ini mungkin pendongkrak awal adalah Tukul yang jelek (melawan mainstream), tapi kejelekkan Tukul ini tidak serta-merta membuat dia hanya bertahan sebagai orang jelek saja. Dia bisa menjadi centre of attention, bukan hanya karena kejelekkan dia, tapi juga karena yang dia lakukan ‘beda’, dalam arti postif (bikin talk show yang kocak).
Hal yang sama terjadi juga dengan Kangen Band. Kelompok musik asal Lampung ini tidak hanya menjual anggotanya yang ‘ngampung’ itu, tapi juga menjual sesuatu yang ‘ngampung’, tapi postif (bikin lagu). Jadi intinya citra yang dibangun oleh golongan ‘jelek’ ini tetap bertumpu pada kejelekkan, tapi bukan diekspos dari sisi yang negatif (seperti orang cebol tadi).
Pada awalnya mengorbitkan ‘orang jelek’ bisa dibilang sebagai perjudian. Gimana enggak, mencetak citra ‘jelek’ tapi bisa berbuat positif, dan (yang lebih penting) diterima masyarakat adalah hal yang melawan arus. Apalagi di dunia hiburan, yang mendewakan kesempuranaan fisik. Kalau cuman ngorbitkan cowok-cowok cakep, sih, gampang aja. Tapi gimana dengan mereka yang nggak cakep? Ini jadi tantangan tersendiri.
Modal nekat dan siap rugi nggak cukup untuk jadi landasan mengorbitkan yang anti-mainstream begini. Butuh kejelian membaca pasar. Jadi nggak asal ngorbit. Saya salut banget sama orang-orang yang berani ‘judi’ begini. Walau sekilas mereka terlihat kayak orang bego yang nekat, tapi sebenernya mereka orang-orang sangat selektif, lho.
Pengorbit begini bisa-bisanya ngeliat celah yang jarang dilihat orang lain. Dalam kaitannya dengan pasar, mereka melihat ada satu range masyarakat yang tidak terjamah. Dasarnya aja lah, tiap manusia, kan, punya idola dan role model. Kriteria untuk menjadi role model berbeda di tiap individu. Tapi yang jelas ada kesamaan antara role model dan mereka yang mengidolakan.
Ini berlaku untuk beberapa band yang dianggap alay (saya termasuk yang beranggapan demikian). Pasar yang ingin dituju adalah mereka yang memang berasal dari kelas menengah ke bawah. Dan ternyata apa yang dilakukan pengorbit itu efektif. Kenapa akhirnya Kangen Band bisa diterima oleh masyarakat (yang mayoritas kelas bawah)? Karena sosok personil-personil Kangen sangat dekat dengan masyarakat kelas bawah: band ngampung, yang seolah mewakili para alay.

Komoditas yang Menjanjikan
Kalau mungkin di awal-awal kemunculan Kangen Band, masih sedikit orang yang mau ‘berjudi’ dengan mengorbitkan band ngampung, maka sekarang pengorbitan model begini justru jadi tren. Nggak selalu band, sih. Intinya berusaha mendongkrak popularitas mereka-meraka yang ‘jelek’ ini, terkadang sengaja diekspos kejelakannya, lalu dicari sesuatu yang positif untuk ditunjukkan. Sekarang bisnis begini menjadi suatu tren yang menjanjikan.
Mengapa pasar sangat responsif dengan orang-orang ‘jelek’ begini? Karena ada tuntutan untuk mencari hal yang ‘lain’. Kalau saya liat, sih, sekarang ini ada tuntutan untuk menyediakan berbagai pilihan buat masyarakat. Jadi pada akhirnya semua selera masyarakat bisa terpenuhi. Nggak seperti dulu, yang kalau lagi demam disko, semua ber-ajojing.
Selain itu dampak ‘penasaran’ menjadi penting. Ini didasarkan pada reaksi awal masyarakat ketika mengetahui ada hal yang beda. Kalau dalam hal ini unsur suka-nggak suka tidak menjadi suatu hal dominan. Media dan pengorbit memanfaatkan pasar yang sedang penasaran. Kesempatan ini digunakan untuk mengeruk uang dan popularitas. Kalau nantinya nggak akan bertahan lama, nggak jadi masalah. Toh, efek popularitas yang masif, meskipun sesaat, tetap memberikan keuntungan.
Kalau menurut saya teori yang dijabarkan di atas cocok untuk menggambarkan fenomena Mbah Surip. Pengorbit kakek berambut rasta ini memanfaatkan sosok yang ‘unik’, dan ‘jelek’ untuk memancing pasar. Ternyata pancingan pengorbit berhasil. Masyarakat penasaran, dan akhirnya media pun beramai-ramai mengulas Mbah Surip ini.
Kalau dilihat dari segi mana Mbah Surip ini bisa menjadi fenomena, saya rasa fisik dan lagu saling terkait. Kalau lagunya Mbah Surip sejenis dengan D’Masiv, misalnya, rasa penasaran orang hanya akan berhenti pada sosoknya aja. Karena nggak ada yang lain dari kakek yang ngomongnya ngelantur ini, selain fisiknya. Tapi karena lagunya yang ‘nggak biasa’ (sebenernya lagunya lebih tepat dibilang nggak oke), orang-orang jadi tertarik.
Kalau hanya lagu yang ‘aneh’ pun nggak bisa jadi magnet. Apalagi sebenernya “Tak Gendhong-Gendhong” ini dari segi musik kurang menjual. Tapi karena ada sosok Mbah Surip yang ‘nggak tau malu’ begitu, jadilah lagunya terdongkrak. Intinya, sih, antara Mbah Surip sebagai penyanyi nyentrik dengan lagu ‘ajaib’-nya itu saling membutuhkan lah.

Trend Sesaat (?)
Pertanyaan yang kemudian muncul, fenomena ‘orang jelek’ begini berdampak positif atau negatif? Banyak yang bilang negatif, apalagi untuk urusan musik. Tapi kalau buat saya, sih, bisa dua-duanya. Tergantung darimana melihatnya.
Sebenernya fenomena begini, kan, secara sosial bagus. Maksudnya sudah ada kecenderungan masyarakat untuk terbuka terhadap perbedaan. Ada kesadaran dari masyarakat tentang pluralitas. Tidak ada suatu doktrin ‘mati’, bahwa dunia hiburan harus diisi wajah ganteng dan cantik. Ibaratnya sekarang siapa aja bisa jadi artis.
Tapi kalau untuk kualitas, mungkin jadi negatif. Misalnya aja dengan adanya musik yang (katanya) kacangan. Juga bakal muncul budaya instan. Ini didasarkan pada pasar yang makin terbuka, sehingga yang ‘ecek-ecek’ pun tetep laku. Bahkan dampak negatif juga menyangkut kelangsungan tren ini.
Mungkin kita melihat bagus kalau tren ‘orang jelek ngetop’ ini selesai. Dan memang kayaknya fenomena ini berpotensi untuk tidak bertahan lama. Tapi kalau saya melihatnya justru jangan cepat selesai. Dalam arti, fenomena ini diliat bukan sebagai trend ‘mentang-mentang jelek’, tapi dilihat sebagai tren keberagaman. Nah, supaya tetep berlangsung tren keberagaman, maka harus ada kesadaran juga dari ‘yang jelek-jelek’ itu untuk meningkatkan kualitas. Jangan hanya karena sekarang orang jelek lagi laku, terus kualitas minim, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar