Selasa, 28 Juli 2009

Jogja Pemalas vs Vredeburg

Kamis, 23 Juli, saya dan temen saya, Icha, jalan-jalan ke Jogja. Buat sebagian orang perjalanan dua propinsi (kan, saya di Jawa Tengah) ini bukanlah sebuah perjalanan yang ‘sebenarnya’, soalnya jaraknya emang deket. Ibaratnya, dari Jogja ke Solo itu kepleset pun nyampe.
Karena saking terikatnya dua kota ini, nggak heran kalau akhirnya dibuatlah kereta yang rutenya khusus Solo-Kutoarjo (yang melewati Jogja, pastinya). Si Pramex alias Prambanan Express adalah nama kereta yang mondar-mandir Solo-Jogja. Kereta ini ada tiap jam. Paling pagi kalau nggak salah jam setengah tujuh, dan paling malam, setahu saya jam setengah delepan malam. Dulu, kereta Pramex ini gerbongnya ‘seadanya’ (baca: udah butut). Sekarang kereta-kereta dengan gerbong jadul ini masih dioperasikan (dan kalau lagi apes, ya, kebagian naik kereta jadul), tapi udah lebih banyak kereta baru.

Back to may road.

Pramex yang saya tumpangi berangkat dari stasiun Palur (stasiun yang paling deket dengan rumah), jam 8.30 pagi. Untung buat saya karena keretanya bagus (bukan gerbong butut), dan tempatnya kosong (harap maklum, Palur adalah stasiun pertama sebelum lanjut ke stasiun-stasiun lainnya). Dari Palur ini kereta akan berhenti di Jebres, Solo Balapan, dan Purwosari, sebelum benar-benar keluar dari Solo.
Saya ketemu temen saya di stasiun Purwosari. Lucky me, bangku sebelah kiri saya ternyata kosong, jadi Icha bisa duduk di sebelah saya. Setelah meninggalkan Purwosari, kereta bakal berhenti lagi di Klaten, lalu mulai masuk Jogja lewat Maguwo (ini stasiun deket Bandara Adi Sutjipto).
Perjalanan naik kereta ini memakan waktu satu jam. Kalau diibaratakan di Jabodetabek, kira-kira sama seperti Stasiun UI-Stasiun Kota. Malahan kayaknya lebih deket Solo-Jogja. Tujuan akhir saya adalah Stasiun Tugu, yang merupakan stasiun pusat di Jogja.
Sampe di Tugu, sekitar jam sepuluh pagi. Kedaan yang pertama saya liat: sepi. Mungkin karena kemaren adalah hari kamis, yang memang bukan week-end. Sepinya Tugu ternyata juga berimbas ke Malioboro, kawasan wisata di Jogja yang letaknya deket banget sama Tugu.
Saya dan Icha sampe heran banget, karena belum ada satu toko pun yang buka! Jangankan toko-toko kecil yang jual suvenir, pasar swalayan pun masih tutup. Buat saya ini adalah pengalaman yang baru, karena baru pertama menjejakkan kaki di Malioboro pada hari kerja, dan jam sepuluh pagi. Pemandangan Malioboro yang bak kuburan (saking sepinya) ini kontras dengan pemandangan kota asal saya, Solo, yang aktivitasnya udah mulai dari jam sembilan pagi. .
Tapi seru juga melihat Malioboro yang sepi begini. Menurut saya justru terlihat lebih ‘asli’, daripada keadaan pas udah rame banget karena pedagang dan turis. Jalan-jalan di sekitar trotoar juga lebih nyaman karena belum ada ‘pasar tumpah’.

Tujuan utama kami di Jogja sebenernya nggak ada. Jadinya kami tinggal ngikutin mood dan kemana kaki melangkah. Dan ternyata kaki kami melangkah ke benteng Vredeburg. FYI, meskipun Jogja adalah ‘tetangga’ saya, saya belum pernah sekali pun ke Vredeburg!
Sebelum ketemu benteng itu, kami lebih dulu melewati taman gede (yang sepi). Di taman ini ada bangku dan lampu-lampu. Menurut saya tamannya bagus, lumayan bersih, enak buat foto-foto (it’s a must).
Once again, saya baru tahu kalau masuk ke dalam benteng adalah Museum Serangan Umum 1 Maret. Untuk masuk ke museum ini pengunjung hanya dikenakan tarif 750! Murah banget, kan? Sayangnya meskipun udah semurah itu, tetep aja pengunjungnya sedikit (lebih milih masuk mall kali, ya, yang gratis, kalau nggak pake parkir).
Apa yang bisa dilihat di Musuem SU? Nggak lain adalah bukti-bukti sejarah (yah, emangnya di museum bisa liat apa lagi?). Di sini, sejarah digambarkan bukan lewat benda-benda peninggalan sejarah, tapi lewat diorama dan beberapa foto. Kebanyakan diorama menggambarkan perjuangan pahlawan yang terjadi di Yogyakarta.
Masuk ke ruang pameran diorama utama, saya dan Icha disambut dengan lagu. Saya lupa judul lagunya, tapi yang jelas lagunya udah nggak asing di telinga. Ruang pamernya cukup besar, dan yang lebih seru ruangannya bersih dan bagus. Saya bisa bilang ruang pamernya dipelihara dengan baik. Ini bisa dilihat dari tempat diorama yang ditutup kaca, bersih banget, nggak berdebu. Penerangannya juga baik. Meskipun nggak terang benderang, ya, tapi menurut saya cocok untuk museum dengan tema ‘perjuangan’ begini. Sayangnya, seperti layaknya musuem, nggak boleh motret. Jadinya nggak bisa mengabadikan koleksi museum SU ini.
Diorama yang ditampilkan sangat beragam. Ada diorama yang menggambarkan peristiwa Perang Diponegoro, lengkap dengan foto tempat pengasingan pahlawan nasional tersebut. Yang lainnya, merupakan diorama rapat Jong Java di Jogja, pemogokan buruh pabrik gula (saya bahkan baru tahu ada peristiwa sejarah seperti ini!), pendirian Muhammadiyah, pendirian Taman Siswa, dan pelantikan Hamengkubuwono IX.
Melihat koleksi museum ini, saya jadi mikir, niat banget, ya, yang bikin diorama ini. Meskipun nggak sama persis dengan foto tokoh-tokoh sejarah, tapi detail yang ‘dicetak’ untuk diorama, cukup bagus. Untuk sosok pangeran Diponegoro, misalnya, dicetak lengkap dengan surban lilit yang biasa kita lihat di lukisan pangeran Diponegoro. Begitu juga dengan baju-baju yang dipakai boneka-boneka lainnya, dibuat semirip mungkin dengan fotonya.

Secara keseluruhan, saya beri nilai 7, lah, untuk museum SU ini. Soalnya meskipun penataannya oke dan isinya sangat bermanfaat, tapi memang kurang menarik dibandingkan museum-museum lain. Ada bagusnya, sih, kalau museum SU ini menambah koleksi dengan benda-benda sejarah, atau foto-foto yang lebih variatif. Kalau perlu ada galeri yang isinya foto-foto jadul.
Sayang banget kalau museum ini nggak mengembangkan diri. Soalnya secara bangunan, museum SU ini keren! Halamannya rindang banget, gedungnya juga kuno seperti layaknya bangunan zaman kolonial. Buat foto-foto? Puas banget…….(saya pun memafaatkan halamannya buat ber-narsis ria).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar