Selasa, 28 Juli 2009

Es krim Rp 60.000

Es krim Rp 60.000?

Mmmm…kalau es krim segini di Senayan City, sih, wajar aja, ya. Atau 60.000 untuk Häagen-Dazs juga udah nggak heran. Tapi gimana kalau es krim seharga 60 ribu dikemas dalam gelas super kecil dari plastik, dan dimasukkan dalam kotak karton putih yang label tokonya cuman cap doang (dalam arti box-nya nggak didesain khusus untuk toko itu, tapi box putih yang bisa beli di pasar, biasa buat membungkus makanan warteg)? Yang lebih parah, rasanya nggak creamy sama sekali, dan lebih mirip es krim keliling (yang harganya 2000 sampai 3000-an). Tambahan lagi, beli es krim begini bukan di mall elit, tapi di sebuah toko ‘biasa’, dan bukan di kota besar pula! Masih tega ngeluarin 60.000 untuk es krim?

Kalau saya, jelas nggak tega. Tapi ternyata saya ‘dijebak’ untuk tega ngeluarin 60.000 buat es krim. Memang, sih, bukan satu es krim, tapi tiga. Itu pun sebenernya bukan 60.000 ‘murni’, tapi 57.750 (beda-beda tipis, lah, ya, sama 60.000).

Jadi, ceritanya begini…..

Tanggal 26-27 Juli 2009, saya dan keluarga pergi ke Malang. Sebenernya ini efek dari Gresik, karena kakak saya nikah. Mumpung udah di Jawa Timur, dan kebetulan adiknya bapak saya tinggal di Malang, saya dan keluarga pun sepakat ke kota berhawa sejuk itu.
Sebagai turis, pastinya selalu mencari sesuatu yang khas dari tempat yang dikunjungi. Nah, mumpung di Malang kami sekelaurga pun nyari-nyari apa yang unik dari kota pelajar ini. Apel? Udah pernah. Bakso Malang? Udah nyoba juga (meskipun nyoba bakso ini pas di Malang juga). Maka akhirnya pilihan jatuh ke salah satu landmark Malang yang banyak dibicarakan di media: Toko Oen.
Saya pernah baca di sebuah majalah kalau toko Oen ini memang terkenal, bahkan sampai ke manca negara. Bangunan yang terletak di Jl. Basuki Rachmat, Malang ini katanya punya nilai historis yang tinggi. Gimana enggak, Toko Oen adalah satu di antara sedikit toko di Indonesia yang udah buka dari zaman kolonial, dan sekarang masih tetap berdiri. Hebatnya, bangunan, interior, sampai furnitur-nya masih asli seperti ketika toko ini pertama dibuka.
Penasaran dengan si Oen ini akhirnya kami sekeluarga pun tertarik mencoba. Cuman berhubung waktu kunjungan kami ke Malang sangat mepet, maka kami memutuskan untuk tidak makan di dalam restorannya, maksudnya es krim-nya dibungkus. Yang ingin dilihat hanya: kayak gimana, sih, Toko Oen yang beken ini.
Dari luar, toko ini terlihat mencolok karena bangunannya beneran kuno (dibandingkan dengan sekelilingnya yang udah modern). Tulisan tokonya pun masih asli banget: dengan tulisan timbul warna merah Toko „Oen‟ (bahkan tanda baca-nya pun masih pake aturan dari bahasa Belanda). Bangunannya bercat putih, dengan lantai yang belum keramik.
Hawa jadul bakal terasa banget kalau masuk ke dalam toko. Tulisan di toko ini masih menggunakan bahasa Belanda, begitu juga di daftar menu-nya (meskipun udah dikasih terjemahan bahasa Inggris dan Indonesia). Kursi dan mejanya pun masih sangat jadul (kursi dari anyaman bambu). Di dalam toko, kita diiringi ‘tembang kenangan’ lawas berbahasa Belanda (mungkin lagu tahun 30-an). Tambah kuno lagi karena pakaian pelayannya cuman rok/celana hitam dan kemeja putih lengan panjang. Bahkan ada yang pake peci segala. Jadul banget, kan?
Kebetulan waktu saya ke toko ini sedang ada rombongan turis dari Belanda. Mereka bahkan mengisi sekitar 95% kursi di toko itu. Jadi, ketika saya dan adik saya masuk, kami justru seperti jadi ‘bule’. Yang lebih seru, pelayannya di toko ini sepertinya juga ‘wajib’ fasih berbhasa Belanda. Karena salah satu turis yang duduk di kursi depan saya memesan sesuatu ke pelayannya dengan bahasa Belanda.
Saya dan adik langsung pesan es krim vanilla, durian, dan coklat. Dalam bayangan saya, ketiga es krim ini bakalan creamy banget. maklum ini, kan, toko jadul dengan resep yang masih jadul pula. Pikiran saya langsung melayang ke es krim Ragusa di Jakarta yang sama-sama jadul.
Setelah menunggu, akhirnya mas pelayannya ngasih kotak berisi es krim yang saya pesan. Kami berdua (saya dan adik saya) bergegas pulang, karena memang waktunya memept banget. Kami buka kotak putih dengan cap Toko Oen itu di mobil. Betapa kagetnya kami ketika tahu kalau tiga es krim yang kami pesan itu hanya berwujud gelas plastik kecil.
Oke, mungkin dalam gelas kecil ini tersembunyi es krim yang creamy, dan lumer di mulut. Tapi es krim single scoop ini ternyata nggak creamy sama sekali! Bahkan rasa susunya pun nggak dominan, dan lebih banyak rasa manis yang mirip banget sama es krim buat kondangan. Waduh…..padahal udah keluar 60.000.

Saya jadi agak nyesel. Sebenernya nggak masalah, sih, kalau 60.000 itu rasanya beneran ‘nendang’ banget. Yah, meskipun kemahalan, tapi untuk es krim yang harganya dipatok harga turis begitu, okelah. Cuman, yang ini, agak kebangetan juga. Es krim dengan rasa yang biasa, harganya luar biasa!
Kalau melihat toko ini, memang di-set khusus untuk turis, terutama yang bule. Kalau pengen ke toko Oen untuk berwisata kuliner, kayaknya kurang pas. Rasa es krimnya cuma ‘gitu doang’, dan menu lainnya pun standar aja (roti tawar, bistik). Tapi untuk mengenal sejarah, dan bernostalgia, sih, oke lah. Lebih menarik kalau buat bule dari Belanda, karena susana Oen memang ‘Kompeni banget’. Nggak heran kalau Toko Oen ini menjadi salah satu warisan budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Bukan untuk wisata kuliner, tapi wisata sejarah.

1 komentar:

  1. yang mahal pengalaman anda bukan dari nilai eskrim nya.

    BalasHapus