Rabu, 14 Januari 2009

Kasihan Anak SMP

Kemaren gue baca berita di KOMPAS tentang standar kelulusan UAN yang naik jadi 5,5. Sebenernya gue nggak terlalu ngerti tentang nilai terendah, tapi yang gue tangkep, nilai minimal (untuk UAN dan UAS) adalah 4,5. Gue setuju, sih, soal kenaikan standar lulus ini. Soalnya mendorong anak-anak untuk serius mikirin masa depan.
Tapi ada satu hal yang bikin gue prihatin. Dan keprihatinan ini gue tujukan untuk anak2 SMP. Dari yang gue baca di KOMPAS, sekarang ini UAN SMP nggak cuman 3 pelajaran, tapi 4. Kalau dulu, zaman gue SMP, cuman B.Indonesia, B.Inggris, dan Matematika. Sekarang ditambah lagi IPA. Sebenernya dulu IPA juga masuk ujian, tapi ujian sekolah. Nggak terlalu menentukan kelulusan. Gue sempet surprise juga waktu IPA masuk UAN SMP, tapi awalnya gue pikir itu cuman gosip doang. Ternyata sekarang diwujudkan juga!
Menurut gue ini nggak adil. Udah bagus, tuh, 3 pelajaran yang dulu itu. Nggak usah lah ditambah IPA segala. Kalau mau ditambah IPA, IPS juga diikutkan. Kenapa? Karena kasihan buat mereka yang nggak bisa eksak. Kayak gue ini (Huhuhu………….). Untuk mereka yang memang nggak dikaruniai bakat dalam bidang eksakta, ngerjain matematika aja udah ngos-ngosan, apalagi ditambah IPA! Yang namanya IPA anak SMP pasti termasuk fisika juga, kan? Ngitung lagi………………
Untuk matematika, masih bisa toleransi lah. Karena meskipun susah, pelajaran ini penting untuk mengasah logika dasar. Jadi buat yang nggak bisa eksak, sedikit ‘ngoyo’, boleh lah. Cuman kalau akhirnya ditambah IPA? Gue rasa berlebihan. Dan parahnya kenapa, kok, ya, cuma IPA. Kenapa nggak masukin IPS? Is there any big difference between IPA and IPS?
Memang pendapat umum bahwa IPA identik dengan pinter. Tapi everybody knows lah kalau pendapat itu cenderung picik. Nah, kalau udah tahu itu pikiran yang sempit, why people don’t want to change? Gue rasa Departemen Pendidikan tahu bahwa ilmu selain IPA itu penting (itulah kenapa dibuka jurusan IPS dan Bahasa di SMA. Ya kan?). Memang, standar masuk kelas selain IPA lebih rendah, tapi sebenernya dengan adanya pemisahan kelas itu menunjukkan adanya penghargaan yang cukup untuk bidang lain selain eksakta.
Masalahnya kenapa ‘penghargaan’ yang udah diberikan di SMA itu nggak diterapkan di SMP? Kenapa anak-anak SMP udah didoktrin bahwa anak pinter itu adalah anak IPA? Dengan adanya diskriminasi IPA yang dijadikan UAN, bukannya itu makin mempersempit pandangan anak-anak? Mungkin standar lulus naik, itu bagus, tapi kalau akhirnya anak-anak hanya punya dontrin seperti itu, bukannya itu adalah pembodohan?
Yang namanya ‘pembodohan’ itu nggak cuman soal nilai yang jelek, tapi juga bagaimana menggunakan pemikiran yang lebih terbuka dalam memandang sesuatu. Kalau dengan IPA dimasukan UAN, dan IPS enggak, itu sama aja dengan mempersempit pandangan orang. Lagian memangnya bisa eksak=pinter? Nggak juga, kan?
Bisa aja, sih, alasan dua pelajaran bahasa itu menjadi aset anak2 non-IPA, tapi menurut gue itu pelajaran umum. Bahasa Indonesia sebenernya punya bobot yang sama antara IPA dan non-IPA, sementara bahasa Inggris mungkin lebih berpihak ke non-IPA. Tapi matematika jelas keunggulan untuk mereka yang jago eksak. Jadi kalau tambah IPA, bukankah itu nggak adil?
Kalau alasan IPA bisa luwes masuk kemana-mana, memang bener. Tapi keluwesan itu nggak mutlak. Ada juga orang-orang yang memang bisanya IPA doang. Giliran ngerjain IPS atau Bahasa, dia nggak bisa. Cuman toleransi orang terhadap keadaan ini lebih tinggi, ketimbang mereka yang memang bener-bener nggak bisa eksak.
Gue berani bilang gini, karena memang berada dalam keadaan dimana gue nggak luwes untuk bisa IPA maupun non-IPA. Selama ini, sih, anak-anak kayak gue diperlakukan ‘nggak adil’. Gue juga nggak nuntut anak IPA harus merasakan hal yang sama kayak gue, tapi setidaknya ada toleransi untuk mereka yang nggak bisa IPA.

Senin, 12 Januari 2009

Melihat Kemacetan Jakarta

Lihat berita di tv ternyata bisa bikin bosen juga. Sekarang beritanya adalah soal serangan Israel ke Gaza, dengan segala tetek-bengeknya. Tiap pindah channel, itu………..melulu beritanya. Belum lagi demo anti-Israel di seluruh dunia. Dan kemaren pagi, waktu ngeliat Nuansa Pagi, gue malah nonton demo anti-Israel yang dilakukan oleh anak-anak SD! OMG! Segitu heboh kah, perang ini sampe anak2 SD ikutan demo?
Gue ngeliatnya jadi kayak kurang kerjaan. Bukannya sok tua (mentang-mentang gue mahasiswa. Hahahaha…………….), tapi anak2 SD tau apa, sih, soal perang Israel? Liat di tv aja, enggak. Paling-paling demo ini gara-gara disuruh sama gurunya. Guru-guru ini juga aneh. Nggak usah lah anak2 kecil dikasih gambaran perang kayak gini. Bukannya nggak mau ngasih pelajaran dini tentang politik ke anak kecil, tapi menurut gue nggak perlu. Soalnya percuma juga, orang udah tau kalau anak2 kecil nggak tau apa2.
Emang, sih, dampak positifnya bisa ngasih tekanan karena berarti kalau sampai anak kecil aja tau, perang ini udah parah banget. Masalahnya kalaupun anak2 kecil ini tau mereka juga taunya hanya dari satu sudut pandang yang mereka terima. Apa yang mereka ketahui tentang latar belakang perang ini? Kalau akhirnya cuma dikompori dengan anggapan ini perang agama, maka itu adalah persepsi yang salah. Dan itulah yang diterima oleh anak2 itu.
Ngomongin anak2, gue jadi inget anak2 sekolah di Jakarta. Heboh berita tentang masuk sekolah jam setengah tujuh, bikin gue pengen ikutan komentar. Sebelum bercuap-cuap, gue merasa bersyukur, nggak tinggal di Jakarta. Jadi meskipun zaman SMA dulu masuknya juga setengah tujuh, gue nggak terlalu menderita. Nggak ada mecet, sih.
Okelah, balik ke peraturan baru. Memang mayoritas menganggap ini sebagai solusi yang menyesatkan. Tetep aja Jakarta macet! Mungkin emang udah takdirnya kalau ibukota ini adalah pusat dari segala kemacetan di Indonesia. Dan dengan masuknya anak2 jam setengah tujuh nggak memberi jawaban terhadap masalah.
Gue melihat sebenernya kebijakan ini akan sama saja, sebab yang namanya berangkat sekolah, tetep aja butuh kendaraan. Otomatis kendaraan akan keluar lebih dulu. Dan kalau semua sekolah menerapkan itu, bukannya sama aja? Kalau untuk menghindari jam kerja, gue rasa juga kurang efektif. Justru akan menimbulkan dua kloter kemacetan: berangkat sekolah dan berangkat kerja.
Serba salah, ya? Emang kemacetan di Jakarta ini harus diatasi dengan pemikiran yang ‘bercabang’. Gue ada ide, nih, buat pemda DKI. Tapi ide gue emang susah diterapkan. Tapi nggak ada salahnya beropini. Toh ini juga blog gue, kan. Hehehe………….
Jadi pertama-tama kita bisa mulai dari memperbaiki kinerja angkutan umum. Perbaikan ini menyangkut ketepatan jam, kebersihan, keteraturan pengoperasian (termasuk dilarang ngetem sembarangan, dan dilarang berhenti di sembarang tempat). Busway nggak maalah, asal jamnya jelas, jumlahnya banyak. Lebih seru kalau ada monorail. Ini bisa jadi alternatif pengganti KRL yang suka bikin macet. Kenapa bukan subway? Karena di bawah tanah pengawasannya susah. Bisa-bisa stasiun subway jadi sarang copet dan tindak kriminal lainnya.
Setelah kualitas angkutan umum diperbaiki, bisa diterapkan pembatasan kendaraan pribadi. Untuk yang satu ini gue belum ada ide gimana peraturannya. Tapi yang jelas aturan ini bisa sangat efektif untuk mengurangi kemacetan. Gue rasa kalau kualitas angkutan umum bener-bener bagus, orang juga nggak protes dengan pembatasan jumlah kendaraan pribadi.
Cuman, seperti yang gue tulis sebelumnya, ide gue ini memang susah diterapkan. Biayanya mahal. Sebenernya untuk Jakarta, dimana duit terus berputar (gue denger 70% duit di Indonesia berputar di Jakarta. Sisanya dibagi ke 32 propinsi lainnya. Gila, kan?) itu terasa muda. Tapi ingat, di ibukota ini ada kesulitan untuk mengatasi para pendatang miskin yang kebanyakan susah disuruh tertib. Solusi dengan ‘pengusiran’ juga belum berhasil.
Jadi pada intinya kemacetan adalah hal yang susah diatasi, karena Jakarta terjebak dalam ‘lingkaran setan’ yang nggak putus-putus. Ketika diusahakan tertip, ada pihak-pihak yang dirugikan.

Kamis, 01 Januari 2009

Rainy New Year Night

Sekalinya niat ngrayain tahun baru, malah ujan. Hua..........................padahal mumpung banget, nih, gue boleh keluar malam. Tapi kayaknya memang Yang Di Atas belum kasih izin kali, ya, sama gue. Jadi, meskipun keluar malam, hujan sudah menyambut.
Jadi begini malam tahun baru gue:

Tanggal 31 desember gue rencana mau keluar buat ngerayain pergantian tahun sama temen deket gue. Kebetulan dia lagi pengen tahun baruan di Solo. Gue dah seneng, nih, meskipun bokap-nyokap gue ngasih rambu-rambu: jangan lebih dari jam 9 (memang jam segitu udah masuk tahun baru, ya?). Bukannya paranoid, tapi letak rumah gue di pelosok desa, suka bikin deg-degan. Nggak jarang ada gerombolan cowok-cowok mabuk di jalan. Serem juga, kan, kalau jam dua pagi gue sendirian naik motor pulang, terus tiba-tiba disamperin cowok mabuk. Hi.........
Mulai jam 3-an sore, Solo udah diguyur hujan. Dan ini model hujan yang susah berhenti (maksudnya hujan seharian gitu....). Gue siap-siap kalau beneran batal. Tapi ternyata menjelang jam 6, tinggal gerimis doang. Begini, sih, gue hajar aja. Akhirnya gue naik motor ke rumah kakaknya temen gue itu (tempat dia nginep selama di Solo). Selama di perjalanan, gue pake jas hujan, dan kadang-kadang hujan deras di beberapa daerah.
Sampe di perumahan tempat temen gue, gue masih nyari-nyari rumahnya. Ternyata rumahnya masuk jalan yang musti lewat jalan lain. Pokoknya gue sampe nanya yang jual terompet, yang makan di warung angkringan, sampe ibu-ibu yang baru pulang pengajian. Karena nggak ketemu-ketemu, gue telepon temen gue itu. Dan dia jemput gue.
Nggak disangka-sangka cowoknya temen gue mau tahun baruan malam itu. Yiha.....berarti bisa pulang malem karena nanti bisa dianterin cowoknya temen gue itu. Asyiiiiiik! Gue sama temen gue jempet tuh cowok di stasiun Balapan (karena cowoknya kuliah di Jogja). Setelah jemput cowoknya temen gue, kita bertiga balik ke rumah temen gue. Nunggu hujan reda, berharap beneran bisa ngerayain tahun baru. Bukannya reda, gue sama cowoknya temen gue itu malah kelaperan. Secara kita berdua memang belum makan dari sore. Karena ga tahan laper, kita bertiga memutuskan untuk cari makan dan.............nganterin gue pulang! Kenapa? Karena udah nggak mungkin tahun baruan di tengah hujan yang terus mengguyur Solo malam itu.
Gue usul supaya makan di rumah gue aja. Tapi setelah gue telepon nyokap gue, di rumah ternyata nggak ada makanan. Alright, kita memutuskan untuk beli makan di deket rumah gue aja.
Niatnya mau makan di warung mie goreng depan komplek, tapi ternyata tutup! Adoh.......sial banget gue! Akhirnya kita bertiga makan di warung angkringan (orang Solo biang: warung Hek) di depan perumahan. Gue makan 1 bungkus nasi kucing+1sate kulit+segelas jeruk panas. And guess how much? Cukup 2700 saja. Temen gue cuman pesen jahe panas. Cowoknya temen gue dengan bersemangat ( gue tahu dia lagi kelaperan banget....)makan 3 bungkus nasi kucing+jahe panas+ubi goreng+4mendoan. Dan total haga makanan temen gue dan cowoknya adalah 6.500.
Udah makan, gue sama dua temen gue itu main ke rumah gue. Nggak lama, kok, cuman sampe jam 10. Terus temen gue sama cowoknya balik. Dan hari itu masih hujan, tapi tinggal gerimis doang.
Malam pergantian tahun, gue habiskan berdua bareng bokap gue. Nyokap udah tidur, adek lagi nginep di rumah tante. Sambil nonton tv, gue malah curhat ke bokap gue! It was a great moment to replace my disappointment. Meskipun punya hubungan yang deket banget, tapi gue hampir nggak pernah curhat ke bokap. Paling-paling ke nyokap. Tapi ternyata curhat ke bokap gue boleh juga. Berasa kayak denger Mario Teguh (lebay is nice, right?! Hahahahaha....secara bokap gue doyan ngobrol dan suka berbagi pengalaman. Jadinya sampe jam setengah 2, gue dikasih pengarahan dan motivasi dari bokap. Setelah mulai ngantuk, akhirnya gue balik ke kamar. Tidur. Zzzzzzz...................

Apa hikmahnya? Meskipun gagal total rencana tahun baruan gue, tapi gue dapet penyemangat untuk untuk menghadapi 2009 (thanks to Papah. Love u so much, Dad!) .