Minggu, 17 Agustus 2008

Ratu Sejagad

Solo, 17 Agustus 2008
Dua malem yang lalu, karena nggak bisa tidur gue akhirnya liat acara Puteri Indonesia 2008. Sebenernya gue juga nggak terus-terusan mantengin acara itu di tv, tapi gue selang-seling sama acara lain. Malahan lebih banyak nonton channel lain ketimbang Indosiar yang nayangin acara itu. Pemenangnya gue cuman tahu dari Jakarta, tapi namanya siapa, gue nggak ngerti. Waktu dia dites dengan jawab beberapa pertanyaan gue juga nggak nonton.
Tapi gara-gara kontes putri-putrian itu gue jadi mulai on lagi, nih, untuk mikir. Sekedar informasi aja, sebelum Puteri Indonesia 2008, udah ada pemilihan Miss Unverse 2008 yang diadakan di Vietnam. Gue lupa nama pemenanganya, tapi yang jelas Ratu Sejagad itu berasal dari Venezuela (inilah negara miskin yang kaya akan cewek-cewek seksi langganan kontes Miss-Miss-an). Pemenang kontes ratu begini, nih, sering kali dianggap sangat membanggakan, padahal pada prakteknya pendapat itu sering kali meleset jauh.
Alumnus Miss-Apapun-Itu yang berskala internasional, terbukti nggak berbicara banyak di dunia internasional. Mereka rata-rata hanya sukses semalam, habis itu dilupakan orang. Belum tentu orang tahu siapa Miss Universe tahun kemaren. Gue aja cuman tahu kabar terkahir dari salah satu Miss Universe bernama Natalie Glebova (gue juga udah lupa tahun berapa dia menang) yang menikah dengan petenis Thailand, Paradorn Srichapan. Atau yang sekarang ngeto adalah Aishwarya Rai (tahun berapa, ya, dia menang?). Selebihnya? Wah, nggak ngerti, deh.
Kenapa Miss-Apapun-Itu saat ini cepat dilupakan orang? Menurut gue ada beberapa faktor:

1. Kontestan yang kurang representatif
Dibangga-banggakan sebagai kontes untuk wanita dengan 3B (beauty, brain, behavior), tapi pada prakteknya seringkali beauty memegang poin yang jauh melebihi 2B lainnya. Nggak semua Miss-apapun-itu nggak cerdas, tapi melihat para pemenang yang akhirnya nggak ‘bunyi’, bisa jadi memang bobot beauty sangat dominan. Apalagi kalau kita perhatikan dari daftar-daftar pemenangnya agak ‘setipe’: sexy, eksotis, dan tampangnya juga ‘sejenis’. Memang, kecantikan itu menjadi poin plus bagi para kontestan, tapi bukan poin yang paling utama. Ingat, misi Miss-Apapun-Itu adalah untuk memilih wanita yang cerdas, cantik, dan ber-attitude baik. Ia akan menjadi ‘perwakilan’ citra wanita dunia yang ‘baik’. Jadi ketika pada akhirnya yang keluar sebagai pemenang adalah yang ter-cantik, kredibilitas kontes jadi berkurang, dong.

2. Kurang Promosi dari penyelenggara
Ketika malam penganuegerahan, Miss-Apapun-Itu memang benar-benar bak ratu sejagad, dimana ia jadi pusat perhatian. Tapi ketika selesai acara, nggak banyak yang tahu apa proyek kelanjutan dari jabatan tersebut. Emang, sih, Miss-Apapun-Itu juga melakukan misi-misi kemanusiaan, tapi nggak pernah ada yang meliput.

3. Apresiasi Masyarakat yang Kurang
Kontes ratu-ratuan gini memang paling laku dijual di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, orang udah males nonton. Kenapa? Ya, dua faktor yang udah gue tulis di atas menjadi alasannya. Kalau itu tahu 60-an, 70-an, bahkan 80-an, orang mungkin masih apresiatif, tapi sekarang penghargaan itu berkurang. Masyarakat mulai mikir tentang keobyektifan kontestan. Bener, nggak, kalau Miss-Apapun-Itu adalah kombinasi dari 3B? Disamping itu ada banyak cara untuk menunujukkan bahwa seorang wanita itu cerdas dan cantik, tanpa perlu ikut kontes ratu-ratuan berskala internasional. Misalnya, dengan menjadi presenter televisi, terutama untuk acara-acara ‘serius’, seperti debat atau berita. Ini justru menjadi bukti nyata bahwa seorang wanita itu good-looking dan good-brain. Agar enak dilihat oleh pemirsa, maka dibutuhkan orang yang cantik, dan agar acara menjadi menarik si presenter juga harus cerdas karena ia harus komunkatif, apalagi jika berhubungan dengan narasumber. Orang akan lebih menghargai profesi seperti presenter, karena udah jelas menunjukkan memang si wanita itu berkualitas.

Tulisan di atas itu cuman pendapat gue pribadi. Bisa aja orang nggak setuju, atau gue kurang akurat dalam menyimpulkan data. Gue rasa, sih, Puteri Indonesia masih dihargai di dalam negri, meskipun kurang menunjukkan konistensi dalam hal kontestan dan pemenangnya. Dalam pandangan gue PI ini mencari seorang yang cocok dengan ukuran Miss Universe, jadi kadang-kadang ada beberapa faktor yang ‘dilupakan’ dalam penialaian, karena menitikberatkan faktor lain.
Tapi bukan berarti gue skeptis, lho, dengan ajang Miss-Apapun-Itu yang berskala internasional (gue nggak bilang yang cakupannya masih dalam negri, lho….). Memang harus diakui kalau ajang beginian bisa membuka kerier seseorang, terlepas dari dia akan dikenal atau enggak. Bisa aja dengan jadi Miss-Apapun-Itu seseorang akan jadi selebriti di negaranya? Hanya saja untuk bisa dikenal luas secara internasional, balik lagi ke kualitas individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar