Senin, 18 Agustus 2008

Wisata Pantai.....

Solo, 18 agustus 2008
Tanggal 17 agustus kemaren, gue ama sekeluarga jalan2. Waktu berangkat dari rumah, gue emang naik mobil sama bokap, nyokap, dan adek gue, tapi sebenernya bukan cuman keluarga gue aja yang ikutan “Tour de Plage” ini, karena ada keluarganya 2 orang temen bokap gue: Pak Adib bawa istri dan 2 anaknya; Pak Agus sama istri sama 4 anak. Plus 1 temennya bokap yang namanya Pak Nto’ dan istrinya. Jadi kalo diitung-itung ada sekitar 16 orang yang ikutan acara ini.
Kita ber-16, nih, liburan ke Krakal. Ini sebuah pantai yang udah masuk provinsi DIY, tapi letaknya agak pinggiran Jogja. Gue nggak hapal, sih, sebelah mananya, cuman yang jelas deket desa Semin, DIY. Ini kedua kalinya gue ke pantai Krakal. Sebelumnya gue cuman ama sekeluarga. Yang spesial, selain ke pantai rame2, juga kerena rombongan besar ini nginep semalem, plus momen yang kita pilih adalah pas bulan purnama. Jadinya jalan2 kali ini bener2 seru.

Hari Pertama:
Gue sama keluarga nyampe di Krakal udah jam setengah 5 sore, setelah sempet kejebak macet gara2 ada karnaval 17-an di desa sebelum jalan ke Krakal. Sesampainya di lokasi, keluarga gue langsung berhenti di rumah penduduk, yang punya namanya Mbah Lono, letaknya deket pantai. Ini rumah mau dipakai buat nginep. Dasarnya bulan purnama, udara berubah jadi dingin, dengan angin yang kenceeeeeeng banget. Sebenernya, sih, gue nggak masalah, tapi nyokap gue yang nggak tahan dingin akhirnya mlih make jaket kemana-mana.
Karena udah sore, alhasil Rombongan ini langsung nyantai2 dan ngobrol2 dulu. Kita sempet naik ke karang yang tinggi banget. Di karang itu ada semacam tempat duduk dengan atap. Dari karang yang lebih mirip bukit itu kita bisa ngeliat pemandangan pantai Krakal yang keren banget. Dan yang lebih asyik, bisa liat sunset! Tapi karena langit mendung, jadi pemandangan matahari tenggelam ini agak keganggu awan hitam.
Setelah sholat, rombongan pada nyari bulan purnama. Kan, keren, tuh, liat purnama di pantai. Gue juga semangat ikutan, tapi karena bulannya belum nongol, alhasil gue nyerah, dan masuk rumah aja. Sekitar jam 7 malem, rombongan pada makan bareng di rumah Mbah Lono. Makannya lesehan, pake tiker. Nah, momen ini, nih, yang paling asyik. Selain ngobrolnya makin seru, juga karena makanannya enak! Padahal lauknya sederhana, cuman tempe bacem, ampela goreng, bihun, sama sayur yang mirip lodeh, tapi sebenernya namanya oblok2.
Habis makan, Rombongan mulai pengen liat bulan purnama lagi, kali2 aja udah keluar. Gue sempet diajak, tapi berhubung udara udah mulai dingin, gue jadi ngantuk bawaannya, akhirnya gue nggak jadi ikut. Bapak2 semangat banget, tuh, melawan angin kenceng dan udara dingin yang mulai diraisain sama semua orang yang nginep di situ. Demi si bulan ini, bapak2 udah siap properti motret: kamera, dan properti penahan dingin: bokap gue pilih bermantel selimut tebel, Pak Nto’ dan Pak Agus pake jaket, sementara Pak Adib pake jaket jins dan bawa sarung. Si bulan ini sempet kefoto, tapi sayanganya blur. Gue nggak tahu, bulannya emang nggak begitu jelas atau dasarnya bokap gue yang emang amatir motret.
Setelah dengerin ibu2 pada cerita, sekitar jam sembilan gue tidur. Adek ama nyokap gue tidur di kamar kiri; anak2nya Pak Agus tidur di kamar kanan; gue ama ibu2 tidur ber-5 di kasur lipet yang udah disiapin di ruang tamu (setelah beresin kursi2 dan meja); bapak2 dan 2 anak cowok dari Pak Adib tidur di luar, lebih tepatnya di teras.
Karena desanya lumayan terpencil, jadi listrik belum masuk. Untungya, sih, di rumahnya Mbah Lono ini pake diesel, jadi lumayanlah ada cahaya, meskipun suka ‘byar-pet’. Tapi kalau mau tidur, dieselnya dimatiin. Nah, supaya mengantisipasi kalau kebelet pipis malem2, makanya sebelum tidur musti ke kamar mandi dulu, soalnya kamar mandinya di luar rumah. Jadi kebayang, dong, kalau kalau pengen pipis harus ke halaman rumah dulu di tengah pantai yang nggak ada listrik. Selain serem, juga gelap……banget.

Hari Kedua:
Subuh, ibu2 udah pada bangun (kebiasaan di rumah kali, ya…..), dan mulai sholat. Setelah sholat, gue ama nyokap sempet jalan2 berdua ke bukit-karang, menikmati angin kenceng sambil niat liat sunrise. Tapi lagi2 mendung. Jadi tahunya udah ngerasa panas aja, karena sinar matahari udah nyampe ke bukit-karang itu. Dari bukit yang lumayan cadas itu, gue ama nyokap duduk2 di deket pantai. Sementara bapak2 udah heboh bakar jagung. Gue bersyukur, Pak Adib dan keluarganya, nih, baik banget sampe bawa alat bakar à la BBQ. Sebelum sarapan pagi, rombongan pada bakar jagung dulu. Dan habis bakar jagung ini mulailah jalan2. Berhubung adek gue agak sakit (dan belum bangun), akhirnya dia ditinggal di rumah Mbah Lono. Ber-15 jalan2.
Awalnya naik bukit-karang yang di sebelah kanan rumah, lalu turun, dan nyampai di sisi kanan pantai Krakal. Habis mengistirahatkan kaki (dan foto2, tentu saja……), perjalanan menyusuri pantai berlanjut, sampai di Pantai Sundak, di sebelah pantai Krakal. Beda dengan Krakal yang sepi dari aktivitas berbau kelautan, maka di P. Sundak ini kita bisa menemukan beberapa kapal nelayan. Waktu gue datang ke sana, anginnya lagi gede, makanya para nelayan jadi nggak melaut. Oia, FYI, nih, hasil utama P. Sundak ini nggak cuman ikan doang, lho, tapi LOBSTER! Yup, si Raja Udang ini adalah ‘buruan’ yang paling banyak didapatkan oleh nelayan.

Setelah selesai ngobrol di P.Sundak, rombongan mulai jalan lagi, mau ke balik ke Krakal. Tapi sayangnya jalan termudah untuk nyampe ke pantai sebelah nggak boleh dilewati karena ditutup oleh pengelola penginapan yang ada di P.Sundak itu. Ya, terpaksalah ber-15 mendaki bukit curam. Bukitnya itu berbatu-batu dan ada rumput2 liar. Dan gara2 batu2 keras itu, jari gue sempet lecet dan berdarah. Perjalanan ini seru banget karena berasa outbond. Nggak pernah kebayang, deh, ke pantai musti mendaki bukit. Tapi itulah asyiknya, dan menurut gue justru the ‘it’ program-nya adalah mendaki bukit ini.
Capek outbond, rombongan langsung disambut sarapan pagi.
Dan habis makan, semuanya udah siap2 mau balik. Gue udah masukin semua barang ke mobil. Sekitar jam 10-an pagi, setelah pamit sama keluarga Mbah Lono, rombongan balik pulang.
Ke Krakal emang selalu berkesan. Pantainya keren abis. Nggak kalah, deh, dari Bali. Pasirnya putih, dan bersih. Di sekitar pasir kita bisa nemuin kulit kerang atau bintang laut. Yang lebih asyik, daerahnya masih asri, jadi semuanya serba alami, belum ‘dimodifikasi’ untuk keperluan turis. Udah ada lumayan banyak penginepan, tapi harap maklum kalau di penginepan2 itu nggak ada listrik. Buat yang doyan surfing, Krakal nggak begitu oke. Ombaknya nggak bagus buat olahraga itu. Kalau mau ke pantai ini, ya menikmati pemandangan aja sambil main air.

Minggu, 17 Agustus 2008

Ratu Sejagad

Solo, 17 Agustus 2008
Dua malem yang lalu, karena nggak bisa tidur gue akhirnya liat acara Puteri Indonesia 2008. Sebenernya gue juga nggak terus-terusan mantengin acara itu di tv, tapi gue selang-seling sama acara lain. Malahan lebih banyak nonton channel lain ketimbang Indosiar yang nayangin acara itu. Pemenangnya gue cuman tahu dari Jakarta, tapi namanya siapa, gue nggak ngerti. Waktu dia dites dengan jawab beberapa pertanyaan gue juga nggak nonton.
Tapi gara-gara kontes putri-putrian itu gue jadi mulai on lagi, nih, untuk mikir. Sekedar informasi aja, sebelum Puteri Indonesia 2008, udah ada pemilihan Miss Unverse 2008 yang diadakan di Vietnam. Gue lupa nama pemenanganya, tapi yang jelas Ratu Sejagad itu berasal dari Venezuela (inilah negara miskin yang kaya akan cewek-cewek seksi langganan kontes Miss-Miss-an). Pemenang kontes ratu begini, nih, sering kali dianggap sangat membanggakan, padahal pada prakteknya pendapat itu sering kali meleset jauh.
Alumnus Miss-Apapun-Itu yang berskala internasional, terbukti nggak berbicara banyak di dunia internasional. Mereka rata-rata hanya sukses semalam, habis itu dilupakan orang. Belum tentu orang tahu siapa Miss Universe tahun kemaren. Gue aja cuman tahu kabar terkahir dari salah satu Miss Universe bernama Natalie Glebova (gue juga udah lupa tahun berapa dia menang) yang menikah dengan petenis Thailand, Paradorn Srichapan. Atau yang sekarang ngeto adalah Aishwarya Rai (tahun berapa, ya, dia menang?). Selebihnya? Wah, nggak ngerti, deh.
Kenapa Miss-Apapun-Itu saat ini cepat dilupakan orang? Menurut gue ada beberapa faktor:

1. Kontestan yang kurang representatif
Dibangga-banggakan sebagai kontes untuk wanita dengan 3B (beauty, brain, behavior), tapi pada prakteknya seringkali beauty memegang poin yang jauh melebihi 2B lainnya. Nggak semua Miss-apapun-itu nggak cerdas, tapi melihat para pemenang yang akhirnya nggak ‘bunyi’, bisa jadi memang bobot beauty sangat dominan. Apalagi kalau kita perhatikan dari daftar-daftar pemenangnya agak ‘setipe’: sexy, eksotis, dan tampangnya juga ‘sejenis’. Memang, kecantikan itu menjadi poin plus bagi para kontestan, tapi bukan poin yang paling utama. Ingat, misi Miss-Apapun-Itu adalah untuk memilih wanita yang cerdas, cantik, dan ber-attitude baik. Ia akan menjadi ‘perwakilan’ citra wanita dunia yang ‘baik’. Jadi ketika pada akhirnya yang keluar sebagai pemenang adalah yang ter-cantik, kredibilitas kontes jadi berkurang, dong.

2. Kurang Promosi dari penyelenggara
Ketika malam penganuegerahan, Miss-Apapun-Itu memang benar-benar bak ratu sejagad, dimana ia jadi pusat perhatian. Tapi ketika selesai acara, nggak banyak yang tahu apa proyek kelanjutan dari jabatan tersebut. Emang, sih, Miss-Apapun-Itu juga melakukan misi-misi kemanusiaan, tapi nggak pernah ada yang meliput.

3. Apresiasi Masyarakat yang Kurang
Kontes ratu-ratuan gini memang paling laku dijual di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, orang udah males nonton. Kenapa? Ya, dua faktor yang udah gue tulis di atas menjadi alasannya. Kalau itu tahu 60-an, 70-an, bahkan 80-an, orang mungkin masih apresiatif, tapi sekarang penghargaan itu berkurang. Masyarakat mulai mikir tentang keobyektifan kontestan. Bener, nggak, kalau Miss-Apapun-Itu adalah kombinasi dari 3B? Disamping itu ada banyak cara untuk menunujukkan bahwa seorang wanita itu cerdas dan cantik, tanpa perlu ikut kontes ratu-ratuan berskala internasional. Misalnya, dengan menjadi presenter televisi, terutama untuk acara-acara ‘serius’, seperti debat atau berita. Ini justru menjadi bukti nyata bahwa seorang wanita itu good-looking dan good-brain. Agar enak dilihat oleh pemirsa, maka dibutuhkan orang yang cantik, dan agar acara menjadi menarik si presenter juga harus cerdas karena ia harus komunkatif, apalagi jika berhubungan dengan narasumber. Orang akan lebih menghargai profesi seperti presenter, karena udah jelas menunjukkan memang si wanita itu berkualitas.

Tulisan di atas itu cuman pendapat gue pribadi. Bisa aja orang nggak setuju, atau gue kurang akurat dalam menyimpulkan data. Gue rasa, sih, Puteri Indonesia masih dihargai di dalam negri, meskipun kurang menunjukkan konistensi dalam hal kontestan dan pemenangnya. Dalam pandangan gue PI ini mencari seorang yang cocok dengan ukuran Miss Universe, jadi kadang-kadang ada beberapa faktor yang ‘dilupakan’ dalam penialaian, karena menitikberatkan faktor lain.
Tapi bukan berarti gue skeptis, lho, dengan ajang Miss-Apapun-Itu yang berskala internasional (gue nggak bilang yang cakupannya masih dalam negri, lho….). Memang harus diakui kalau ajang beginian bisa membuka kerier seseorang, terlepas dari dia akan dikenal atau enggak. Bisa aja dengan jadi Miss-Apapun-Itu seseorang akan jadi selebriti di negaranya? Hanya saja untuk bisa dikenal luas secara internasional, balik lagi ke kualitas individu.

Jumat, 01 Agustus 2008

Keajaiban dalam Hidup

Solo, 1 Agustus 2008
Pernah, nggak, merasakan seusuatu yang ‘ajaib’ dalam hidup? Ini nggak ada hubungannya sama klenik, atau yang berbau sihir, tapi sesuatu yang nggak pernah kebayang sebelumnya, dan akirnya terjadi. Pastinya ini menyangkut hal2 yang positif, lah. Kenapa tiba2 gue tanya kayak gini? Karena di blog ini gue mau berbagi cerita tentang hal yang menurut gue diluar nalar. Dan dalam hal ini gue sangat menayadari bahwa Allah itu berperan besar dalam hidup.
Keajaiban pertama datang sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu gue mau pulang kampung buat ngerayain Lebaran. Sebelum pulang, nyokap gue bilang kalau gue harus sedia minimal 200 ribu di dompet. Uang segitu buat jaga2 kalau ada apa2 selama perjalanan naik kereta.
Malam waktu packing, gue udah persiapan 250 ribu, yang hanya gue pakai buat besok, selama di kereta. Ditengah-tengah gue mengepak baju, tiba2 temen gue dateng ke kamar. Dia bilang mau pinjem duit 100 ribu, karena dia telat dapet kiriman dari ortunya. Waduh, gue bingung banget waktu itu. Kalau gue pinjemin, duit gue tinggal 150 ribu, kurang 50 untuk sekedar duit ‘aman’ di kereta; tapi kalau nggak dipinjemin, kasihan juga, lagian dia temen gue, masak tega, sih? Setelah gue pikir2 lagi, akhirnya gue putuskan untuk minjemin 100 ribu itu ke dia. Pikir gue waktu itu, ya udahlah emang gue mau pakai berapa, sih, di kereta? Nggak mungkin, kan, misalnya gue makan di kereta habis 200 ribu?
Keretanya berangkat pagi, makanya sehari sebelumnya gue nginep dulu di rumah tante gue. Ini karena Om gue kantornya deket Gambir, jadi besok pagi gue bisa berangkat bareng. Malemnya, temennya Om gue dateng. Dan gue sama dua sepupu gue diajak jalan2. Dasarnya temennya Om gue ini tajir banget, gue dan adik2 gue itu sempet ditraktir dan dibeliin macem2 (salah satunya gantungan hp yang akhirnya gue pake buat gantungan falshdisk). Sebelum pulang ke rumah tante gue, si temennya Om gue lagi-lagi baik (gue sampe mikir mungkin saking tajirnya, duit jadi dibuang-buang), ngasih duit. Awalnya gue nggak terlalu perhatian sama jumlahnya, secara itu duit 5000-an semua, langsung aja masukin ke dompet. Gue baru ngitung ketika sampai di rumah tante gue, dan dengan kaget gue baru tahu kalau duit itu jumlahnya 100 ribu!
Gue sampai bengong, nggak percaya. Dengan tambahan duit ini, jumlah duit gue jadi 250 ribu, seperti sebelum gue minjemin temen gue itu. Ajaib, kan? Apalagi yang bisa gue bilang, kecuali “Alhamdulillah”?
Keajaiban kedua terjadi waktu gue berangkat kuliah, sekitar tiga bulan yang lalu. Nggak tahu perbuatan baik apa yang udah gue lakuin, tapi memang gue menyadari kalau Allah baik banget. Dia selalu membalas apa yang telah dilakukan umat-Nya dengan cara yang nggak terduga.
Waktu itu gue berangkat ke kampus, seperti biasa, lewat Barel. Untuk keluar Barel ada jalan kecil yang make tangga tiga. Bayangin aja ketika keluar pintu, di depan lo ada lantai bersusun tiga, yang pendek. Itulah kira2 gambaran jalan kecil di Barel yang gue lewati tiap pagi. Mungkin karena gue kecapekan, atau dasarnya gue emang ceroboh, gue terpeleset. Dan gue menyadari kalau kaki gue keseleo! Jangankan buat jalan, berdiri aja sakit banget. Tapi karena gue nggak mungkin nelpon tukang pijet jam segitu, akhirnya gue mikir, “ya udahlah, terpaksa jalan pincang”.
Di saat kritis kayak gitu, ‘bala bantuan’ datang. Dan bantuan ini dateng dari tukang ojek! Jadi ada sekitar empat atau lima ojek yang mangkal di Barel. Dan salah satu abang ojek itu ngebantuin gue, dengan cara kaki gue diurut. Awalnya gue sempet takut. Namanya juga tukang ojek, bisa aja, kan, ngambil kesempatan dalam kesempitan. Cuman semua rasa parno itu ilang, karena gue beneran diurut. Bener2 nggak ada ‘hal2 yang tidak diinginkan’, deh, pokonya. Selama diurut itu emang banyak orang yang lewat situ, ngeliatin. Mungkin pikir mereka gue agak ‘gimana’ gitu, mau aja diurut ama abang ojek. Tapi gue cuek aja. Toh, akhirnya keseleo gue sembuh! Tinggal bekas bengkaknya doang. Gue bisa berdiri dan nggak perlu terpincang-pincang lagi. Gue akhirnya ngasih 10.000 ke abang ojek yang ngurut gue itu, sebagai ungkapan terima kasih.

Gue yakin ada banyak keajaiban dalam hidup gue, tapi dua hal itu yang paling gue inget, setidaknya sampai sekarang. Ini karena dua keajaiban itu membuat gue berpikir bahwa memang Allah atau Tuhan nggak pernah tidur. Gue semakin menyadari, rezeki itu bisa datang kapan saja. Rezeki nggak harus berbentuk uang, tapi rezeki adalah sesuatu yang ada, yang dateng ke kita saat kita membutuhkan itu. Mungkin diurut sama tukang ojek dianggap hal remeh, tapi tanpa kuasa Allah yang mendadak mendatangkan abang ojek itu, gue bakal jalan terpincang-pincang ke kampus. Atas dua cerita ‘ajaib’ di atas gue cuman bisa ngucap syukur, dan bilang “Alhamdulillah”.