Sabtu, 11 Juli 2009

Penyanyi, Saweran, dan Penonton Dadakan

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kata “saweran”? Mungkin sebagian dari kita bakal mengarahkan pikirannya ke penyanyi dangdut, penari jaipong, abang-abang teler yang asyik bergoyang, atau lembaran-lembaran uang. Memang pikiran-pikiran itu nggak salah. Saya pun sempet mikir bahwa saweran identik dengan penyanyi dangdut yang genit plus abang-abang mata keranjang yang doyan teler (pikiran yang lebih sadis, bahkan).
Saweran selama ini sering dilihat secara negatif. Tapi baru satu kali saya melihat saweran dalam hal yang positif, bahkan menjadi suatu bagian dari upacara sakral. Ini nggak ada hubungannya sama saweran dangdut, ya. Saweran yang dimaksud di sini adalah swaeran dalam upacara pernikahan.
Mungkin banyak yang bilang saya udik banget baru tahu ada saweran buat upacara nikah. Maklum, nikahan ini bukan nikahan suku saya (ini nggak bermaksud menyinggung SARA, ya). Di adat suku saya (Jawa), nggak ada upacara yang namanya ‘nyawer’, makanya kata “saweran” memang nggak akrab dengan saya. Baru beberapa hari lalu waktu kakak sepupu saya nikah dengan cewek Sunda, saya kenal istilah “saweran” dengan konotasi yang positif.
Saya nggak tahu makna asli saweran, tapi yang saya lihat di nikahan kemaren, sawerannya berupa dua mangkok. Yang satu berisi permen, dan satu lagi berisi uang koin mulai dari 100 sampai 500 (entah berapa jumlahnya, yang jelas banyak banget) dan permen. Saweran ini nggak dikasih oleh warga ke pengantennya, tapi sebaliknya pengantinnya yang ngasih saweran ke tamu yang datang. Dan ngasih saweran bukan dalam bentuk bener-bener dikasih dari tangan ke tangan, tapi di lempar.
Yang melempar saweran adalah mempelai wanitanya. Waktu saweran dilempar, tamu dan mereka yang datang langsung berebut. Bahkan banyak yang rela memunguti di jalan. Padahal jumlah yang disawer ini nggak banyak (kecuali yang niat banget mungut semua uang koin.(Kalau itu, sih, dijumlah juga pasti dapet banyak). Katanya cewek yang dapet saweran, dan dia belum nikah, bakal segera menyusul nikah. Sama kayak buket bunga, ya, kalau di negara-negara Barat.
Beralih ke hal yang identik dengan saweran, yaitu penyanyi dangdut. Nah, di acara nikahan kakak saya ini juga ada band dan dua penyanyi cewek yang jadi hiburan. Tapi penyanyi-penyanyi ini nggak dikasih saweran sama penonton, lho (kan udah dikasih duit sama yang bikin acara). Mereka cuman bertugas untuk menghibur para tamu.
Apakah para tamu terhibur? Buat sebagian, tidak; tapi sebagian lain, iya. Kalau saya dan keluarga saya yang dateng waktu itu, kehadiran penyanyi-penyanyi itu justru nggak menghibur, tapi malah menganggangu. Apalagi dengan sound system yang suaranya nge-bass banget (sampai bikin jantung saya ikutan dag-dig-dug), tambah bikin berisik. Sialnya saya dan keluarga nggak bisa langsung ngacir karena acara baru selesai sore hari.
Cuman buat sebagian lain, kehadiran dua penyanyi yang “cantik” itu (dengan rambut rebonding, dan di-cat coklat) sangat menghibur. Terbukti pas nikahan, depan rumah yang dipakai buat acara langsung penuh dengan orang-orang yang antusias nonton. Bahkan sampai jadi arena jualan, karena ada penjual cendol, siomay, bakso, dsb, yang markir dagangannya di situ.

Semangat penonton dadakan ini nggak cuman sampai pada taraf ‘nonton’, tapi juga request lagu, bahkan ikutan nyanyi bareng para penyanyinya. Yang lebih seru, anak-anak kecil malah ikutan nyanyi lagu “Lupa-Lupa Ingat”, dan “Cari Jodoh”! Waduh, lagu-lagu itu ternyata familiar sekali, ya, di kalangan anak-anak.

Yang bikin salut, penonton dan penyanyinya betah banget berlama-lama nonton dan nyanyi sampai sore. Bahkan penyanyinya nggak berhenti nyanyi dari jam 10 pagi sampai acara selesai, jam 3 sore! Padahal lagu-lagu yang dinyanyiin nggak semuanya mellow dan slow, ya. Banyak juga yang up-beat, dan kadang penyanyinya pun ikutan goyang. Mmmm….penyanyi-penyanyi tingkat kecamatan aja udah sekuat itu nyanyi non-stop, apalagi yang tingkat internasional, ya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar