Rabu, 01 Juli 2009

Why Must Be Golput?

Pemilu legislatif telah berakhir. Tapi bukan berarti pemilu di Indonesia pada tahun ini sudah benar-benar berakhir. Masih ada pemilu lagi yang akan diselenggarakan bulan Juli, yaitu pemilu presiden. Itu artainya suara rakyat Indonesia masih dibutuhkan, setidaknya sekali lagi, untuk menentukan pemimpin negara ini.
Berbicara tentang pemilu legislatif 9 April yang lalu, maka kita tentu ingat tentang kejadian-kejadian yang mewarnai pesta demokrasi terbesar itu. Mulai dari hasil penghitungan suara yang molor, kisruh DPT, sampai caleg-caleg depresi. Di antara sekian banyak kejadian menjelang, saat, dan sesudah pemilu ada satu hal yang menjadi fokus pikiran saya, yaitu golput.


Sebelum pemilu digelar, kita tentu mengetahui bahwa MUI sempat mengeluarkan fatwa Haram Golput. Fatwa ini mengacu pada prediksi tingkat golput yang sangat tinggi pada pemilu yang disebut paling kacau sepanjang sejarah Indonesia ini. Pada akhirnya isu Haram Golput ini mereda, digantikan oleh promosi besar-besaran partai-partai peserta pemilu. Promosi ini kemudian mereda, setelah pemilu selesai. Dan berita yang ramai adalah penghitungan suara pemilu. Tapi di tengah berita penghitungan suara, muncul sebuah berita tentang para golput yang jumahnya tidak sedikit.
Menyaksikan berita itu membuat saya berpikir tentang golput. Pemikiran itu akhirnya membuahkan sebuah pertanyaan: Mengapa harus golput?

Sebelum menjawab pertanyaan itu mari kita kumpulkan dulu alasan-alasan golput. Salah satu alasan itu adalah tidak terdaftar DPT. Kemudian alasan kedua, bingung memilih siapa, dan belum kenal betul dengan partai-partainya. Lalu alasan ketiga, golput karena menilai para peserta pemilu semuanya tidak kompeten.
Menurut saya ketiga alasan itu yang paling banyak keluar dari mulut rakyat Indonesia sebagai alasan golput. Jika melihat alasan pertama, maka silakan menyalahkan birokrasi yang bergerak lambat dalam pendataan. Lalu jika alasan kedua dan ketiga yang dipakai, maka kesalahan bisa ada pada pihak pemilih maupun yang akan dipilih. Bisa saja calon pemilih adalah orang yang apatis terhadap pemilu, bisa juga memang dia sama sekali tidak kenal dengan calon yang dipilih (jika melihat pada alasan kedua), atau sosialisasi para partai kurang.
Setelah penjelasan singkat tentang jawaban kenapa golput, maka saya langsung pada pembahasan pokok. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti mereka yang apatis terhadap pemilu. Pembahasan ini makin menjadi perhatian saya ketika menyaksikan berita tentang Kongres Golput yang diadakan oleh Sri Bintang Pamungkas. Mantan aktivis mahasiswa ini dibantu beberapa simpatisan, secara provokatif menyuarakan ajakan untuk golput, lengkap dengan ‘suvenir’ pendukung, seperti kaos bertuliskan (tidak secara detail) “Pemilu Bodoh, Yang Milih Bego”.
Tulisan serta aksi yang dilakukan oleh Sri Bintang dan para simpatisannya tersebut membuat saya bertanya-tanya: Ini maunya apa? Apakah mereka menganjurkan semua rakyat Indonesia untuk golput dan memboikot pemilu? Lalu kalau pemilu diboikot, mau diapakan negara ini?
Pikiran terlogis versi saya mengenai golput ini adalah golputers tidak ingin ada perubahan di negara ini. Berarti mereka puas saja dengan pemerintahan sekarang, yang katanya carut-marut. Kalau ingin perubahan, harusnya ikut pemilu, karena dengan adanya pemilu akan ada pergantian kekuasaan. Itu artinya ada harapan untuk mengganti pemerintahan kacau.
Kalau dikatakan peserta pemilu tidak kompeten, mengapa tidak mengajukan calon sendiri yang dirasa kompeten? Masalah menang atau kalah itu tidak penting, karena sudah memilih yang dirasa kompeten. Aspirasi sudah tersalurkan.
Jika dikatakan bahwa pemilu itu tidak seharusnya ada karena hasilnya sama saja, negara tidak berkembang, lalu ingin seperti apa? Apakah ingin tidak ada pemilu? Kalau memang tidak lewat pemilu bagaimana cara untuk menciptakan pemerintahan yang kondusif?
Yang membuat saya heran, mengapa golput dipandang sebagai aksi yang ‘pahlawan’, karena menolak pemerintahan yang kacau? Kalau di mata saya, aksi golput sama saja dengan aksi ‘sok pahlawan’. Niatnya menyelamatkan, tapi menyesatkan. Kalau tidak pemilu, berarti puas dengan pemerintahan sekarang yang amburadul. Bukankah itu menyesatkan?
Kita memang sulit mengharapkan calon yang sekarang ikut pemilu, tapi setidaknya akan ada perubahan dalam sistem negara ini. Toh, tidak ada calon tunggal. Kita tidak menganut sistem seperti Orde Baru lagi: pemenangnya pasti Soeharto dan Golkar. Banyak pilihan di pemilu. Masalah ada kekurangan, itu wajar. Yang sempurna hanya Tuhan, manusia selalu tidak sempurna. Kalau alasannya semuanya hanya memberi janji surga, dan hasilnya akan sama saja, saya merasa itu pandangan yang skeptis. Perubahan selalu ada, jadi kenapa tidak memberi keesempatan untuk menghadirkan perubahan itu? Jika dipikir bahwa perubahan tidak akan signifikan, setidaknya ada. Daripada stagnan, tidak bergerak.
Lalu melihat penjelasan di atas apakah perlu mendukung fatwa MUI haram golput? Menurut saya tidak langsung demikian. Masalahnya harus dilihat dulu kenapa golput. Kalau golput karena tidak terdaftar DPT, apakah itu haram? Pendoktrinan haram itu bukan milik MUI, tapi milik Allah. MUI hanya menjalankan halal dan haram sesuai dengan peraturan yang dikelurakan Allah melalui kitab suci, bukan seenaknya menciptakan standar halal dan haram.
Saya tidak membenci mereka yang golput karena apatis, juga tidak melarang. Tulisan ini hanya pendapat saya yang bisa dijadikan pertimbangan untuk tidak golput. Dalam hal ini saya hanya menyesalkan saja tindakan golput yang ‘sok pahlawan’ Karena masyrarakat punya pikiran yang plural. Yang ingin ditekankan, saat itu solusinya hanya pemilu. Kalau golputers tidak puas, jangan hanya demo, tapi berikan solusi bagaimana membuat negara tidak kacau dan ada perubahan positif, selain lewat pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar