Selasa, 28 Juli 2009

Es krim Rp 60.000

Es krim Rp 60.000?

Mmmm…kalau es krim segini di Senayan City, sih, wajar aja, ya. Atau 60.000 untuk Häagen-Dazs juga udah nggak heran. Tapi gimana kalau es krim seharga 60 ribu dikemas dalam gelas super kecil dari plastik, dan dimasukkan dalam kotak karton putih yang label tokonya cuman cap doang (dalam arti box-nya nggak didesain khusus untuk toko itu, tapi box putih yang bisa beli di pasar, biasa buat membungkus makanan warteg)? Yang lebih parah, rasanya nggak creamy sama sekali, dan lebih mirip es krim keliling (yang harganya 2000 sampai 3000-an). Tambahan lagi, beli es krim begini bukan di mall elit, tapi di sebuah toko ‘biasa’, dan bukan di kota besar pula! Masih tega ngeluarin 60.000 untuk es krim?

Kalau saya, jelas nggak tega. Tapi ternyata saya ‘dijebak’ untuk tega ngeluarin 60.000 buat es krim. Memang, sih, bukan satu es krim, tapi tiga. Itu pun sebenernya bukan 60.000 ‘murni’, tapi 57.750 (beda-beda tipis, lah, ya, sama 60.000).

Jadi, ceritanya begini…..

Tanggal 26-27 Juli 2009, saya dan keluarga pergi ke Malang. Sebenernya ini efek dari Gresik, karena kakak saya nikah. Mumpung udah di Jawa Timur, dan kebetulan adiknya bapak saya tinggal di Malang, saya dan keluarga pun sepakat ke kota berhawa sejuk itu.
Sebagai turis, pastinya selalu mencari sesuatu yang khas dari tempat yang dikunjungi. Nah, mumpung di Malang kami sekelaurga pun nyari-nyari apa yang unik dari kota pelajar ini. Apel? Udah pernah. Bakso Malang? Udah nyoba juga (meskipun nyoba bakso ini pas di Malang juga). Maka akhirnya pilihan jatuh ke salah satu landmark Malang yang banyak dibicarakan di media: Toko Oen.
Saya pernah baca di sebuah majalah kalau toko Oen ini memang terkenal, bahkan sampai ke manca negara. Bangunan yang terletak di Jl. Basuki Rachmat, Malang ini katanya punya nilai historis yang tinggi. Gimana enggak, Toko Oen adalah satu di antara sedikit toko di Indonesia yang udah buka dari zaman kolonial, dan sekarang masih tetap berdiri. Hebatnya, bangunan, interior, sampai furnitur-nya masih asli seperti ketika toko ini pertama dibuka.
Penasaran dengan si Oen ini akhirnya kami sekeluarga pun tertarik mencoba. Cuman berhubung waktu kunjungan kami ke Malang sangat mepet, maka kami memutuskan untuk tidak makan di dalam restorannya, maksudnya es krim-nya dibungkus. Yang ingin dilihat hanya: kayak gimana, sih, Toko Oen yang beken ini.
Dari luar, toko ini terlihat mencolok karena bangunannya beneran kuno (dibandingkan dengan sekelilingnya yang udah modern). Tulisan tokonya pun masih asli banget: dengan tulisan timbul warna merah Toko „Oen‟ (bahkan tanda baca-nya pun masih pake aturan dari bahasa Belanda). Bangunannya bercat putih, dengan lantai yang belum keramik.
Hawa jadul bakal terasa banget kalau masuk ke dalam toko. Tulisan di toko ini masih menggunakan bahasa Belanda, begitu juga di daftar menu-nya (meskipun udah dikasih terjemahan bahasa Inggris dan Indonesia). Kursi dan mejanya pun masih sangat jadul (kursi dari anyaman bambu). Di dalam toko, kita diiringi ‘tembang kenangan’ lawas berbahasa Belanda (mungkin lagu tahun 30-an). Tambah kuno lagi karena pakaian pelayannya cuman rok/celana hitam dan kemeja putih lengan panjang. Bahkan ada yang pake peci segala. Jadul banget, kan?
Kebetulan waktu saya ke toko ini sedang ada rombongan turis dari Belanda. Mereka bahkan mengisi sekitar 95% kursi di toko itu. Jadi, ketika saya dan adik saya masuk, kami justru seperti jadi ‘bule’. Yang lebih seru, pelayannya di toko ini sepertinya juga ‘wajib’ fasih berbhasa Belanda. Karena salah satu turis yang duduk di kursi depan saya memesan sesuatu ke pelayannya dengan bahasa Belanda.
Saya dan adik langsung pesan es krim vanilla, durian, dan coklat. Dalam bayangan saya, ketiga es krim ini bakalan creamy banget. maklum ini, kan, toko jadul dengan resep yang masih jadul pula. Pikiran saya langsung melayang ke es krim Ragusa di Jakarta yang sama-sama jadul.
Setelah menunggu, akhirnya mas pelayannya ngasih kotak berisi es krim yang saya pesan. Kami berdua (saya dan adik saya) bergegas pulang, karena memang waktunya memept banget. Kami buka kotak putih dengan cap Toko Oen itu di mobil. Betapa kagetnya kami ketika tahu kalau tiga es krim yang kami pesan itu hanya berwujud gelas plastik kecil.
Oke, mungkin dalam gelas kecil ini tersembunyi es krim yang creamy, dan lumer di mulut. Tapi es krim single scoop ini ternyata nggak creamy sama sekali! Bahkan rasa susunya pun nggak dominan, dan lebih banyak rasa manis yang mirip banget sama es krim buat kondangan. Waduh…..padahal udah keluar 60.000.

Saya jadi agak nyesel. Sebenernya nggak masalah, sih, kalau 60.000 itu rasanya beneran ‘nendang’ banget. Yah, meskipun kemahalan, tapi untuk es krim yang harganya dipatok harga turis begitu, okelah. Cuman, yang ini, agak kebangetan juga. Es krim dengan rasa yang biasa, harganya luar biasa!
Kalau melihat toko ini, memang di-set khusus untuk turis, terutama yang bule. Kalau pengen ke toko Oen untuk berwisata kuliner, kayaknya kurang pas. Rasa es krimnya cuma ‘gitu doang’, dan menu lainnya pun standar aja (roti tawar, bistik). Tapi untuk mengenal sejarah, dan bernostalgia, sih, oke lah. Lebih menarik kalau buat bule dari Belanda, karena susana Oen memang ‘Kompeni banget’. Nggak heran kalau Toko Oen ini menjadi salah satu warisan budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Bukan untuk wisata kuliner, tapi wisata sejarah.

Jogja Pemalas vs Vredeburg

Kamis, 23 Juli, saya dan temen saya, Icha, jalan-jalan ke Jogja. Buat sebagian orang perjalanan dua propinsi (kan, saya di Jawa Tengah) ini bukanlah sebuah perjalanan yang ‘sebenarnya’, soalnya jaraknya emang deket. Ibaratnya, dari Jogja ke Solo itu kepleset pun nyampe.
Karena saking terikatnya dua kota ini, nggak heran kalau akhirnya dibuatlah kereta yang rutenya khusus Solo-Kutoarjo (yang melewati Jogja, pastinya). Si Pramex alias Prambanan Express adalah nama kereta yang mondar-mandir Solo-Jogja. Kereta ini ada tiap jam. Paling pagi kalau nggak salah jam setengah tujuh, dan paling malam, setahu saya jam setengah delepan malam. Dulu, kereta Pramex ini gerbongnya ‘seadanya’ (baca: udah butut). Sekarang kereta-kereta dengan gerbong jadul ini masih dioperasikan (dan kalau lagi apes, ya, kebagian naik kereta jadul), tapi udah lebih banyak kereta baru.

Back to may road.

Pramex yang saya tumpangi berangkat dari stasiun Palur (stasiun yang paling deket dengan rumah), jam 8.30 pagi. Untung buat saya karena keretanya bagus (bukan gerbong butut), dan tempatnya kosong (harap maklum, Palur adalah stasiun pertama sebelum lanjut ke stasiun-stasiun lainnya). Dari Palur ini kereta akan berhenti di Jebres, Solo Balapan, dan Purwosari, sebelum benar-benar keluar dari Solo.
Saya ketemu temen saya di stasiun Purwosari. Lucky me, bangku sebelah kiri saya ternyata kosong, jadi Icha bisa duduk di sebelah saya. Setelah meninggalkan Purwosari, kereta bakal berhenti lagi di Klaten, lalu mulai masuk Jogja lewat Maguwo (ini stasiun deket Bandara Adi Sutjipto).
Perjalanan naik kereta ini memakan waktu satu jam. Kalau diibaratakan di Jabodetabek, kira-kira sama seperti Stasiun UI-Stasiun Kota. Malahan kayaknya lebih deket Solo-Jogja. Tujuan akhir saya adalah Stasiun Tugu, yang merupakan stasiun pusat di Jogja.
Sampe di Tugu, sekitar jam sepuluh pagi. Kedaan yang pertama saya liat: sepi. Mungkin karena kemaren adalah hari kamis, yang memang bukan week-end. Sepinya Tugu ternyata juga berimbas ke Malioboro, kawasan wisata di Jogja yang letaknya deket banget sama Tugu.
Saya dan Icha sampe heran banget, karena belum ada satu toko pun yang buka! Jangankan toko-toko kecil yang jual suvenir, pasar swalayan pun masih tutup. Buat saya ini adalah pengalaman yang baru, karena baru pertama menjejakkan kaki di Malioboro pada hari kerja, dan jam sepuluh pagi. Pemandangan Malioboro yang bak kuburan (saking sepinya) ini kontras dengan pemandangan kota asal saya, Solo, yang aktivitasnya udah mulai dari jam sembilan pagi. .
Tapi seru juga melihat Malioboro yang sepi begini. Menurut saya justru terlihat lebih ‘asli’, daripada keadaan pas udah rame banget karena pedagang dan turis. Jalan-jalan di sekitar trotoar juga lebih nyaman karena belum ada ‘pasar tumpah’.

Tujuan utama kami di Jogja sebenernya nggak ada. Jadinya kami tinggal ngikutin mood dan kemana kaki melangkah. Dan ternyata kaki kami melangkah ke benteng Vredeburg. FYI, meskipun Jogja adalah ‘tetangga’ saya, saya belum pernah sekali pun ke Vredeburg!
Sebelum ketemu benteng itu, kami lebih dulu melewati taman gede (yang sepi). Di taman ini ada bangku dan lampu-lampu. Menurut saya tamannya bagus, lumayan bersih, enak buat foto-foto (it’s a must).
Once again, saya baru tahu kalau masuk ke dalam benteng adalah Museum Serangan Umum 1 Maret. Untuk masuk ke museum ini pengunjung hanya dikenakan tarif 750! Murah banget, kan? Sayangnya meskipun udah semurah itu, tetep aja pengunjungnya sedikit (lebih milih masuk mall kali, ya, yang gratis, kalau nggak pake parkir).
Apa yang bisa dilihat di Musuem SU? Nggak lain adalah bukti-bukti sejarah (yah, emangnya di museum bisa liat apa lagi?). Di sini, sejarah digambarkan bukan lewat benda-benda peninggalan sejarah, tapi lewat diorama dan beberapa foto. Kebanyakan diorama menggambarkan perjuangan pahlawan yang terjadi di Yogyakarta.
Masuk ke ruang pameran diorama utama, saya dan Icha disambut dengan lagu. Saya lupa judul lagunya, tapi yang jelas lagunya udah nggak asing di telinga. Ruang pamernya cukup besar, dan yang lebih seru ruangannya bersih dan bagus. Saya bisa bilang ruang pamernya dipelihara dengan baik. Ini bisa dilihat dari tempat diorama yang ditutup kaca, bersih banget, nggak berdebu. Penerangannya juga baik. Meskipun nggak terang benderang, ya, tapi menurut saya cocok untuk museum dengan tema ‘perjuangan’ begini. Sayangnya, seperti layaknya musuem, nggak boleh motret. Jadinya nggak bisa mengabadikan koleksi museum SU ini.
Diorama yang ditampilkan sangat beragam. Ada diorama yang menggambarkan peristiwa Perang Diponegoro, lengkap dengan foto tempat pengasingan pahlawan nasional tersebut. Yang lainnya, merupakan diorama rapat Jong Java di Jogja, pemogokan buruh pabrik gula (saya bahkan baru tahu ada peristiwa sejarah seperti ini!), pendirian Muhammadiyah, pendirian Taman Siswa, dan pelantikan Hamengkubuwono IX.
Melihat koleksi museum ini, saya jadi mikir, niat banget, ya, yang bikin diorama ini. Meskipun nggak sama persis dengan foto tokoh-tokoh sejarah, tapi detail yang ‘dicetak’ untuk diorama, cukup bagus. Untuk sosok pangeran Diponegoro, misalnya, dicetak lengkap dengan surban lilit yang biasa kita lihat di lukisan pangeran Diponegoro. Begitu juga dengan baju-baju yang dipakai boneka-boneka lainnya, dibuat semirip mungkin dengan fotonya.

Secara keseluruhan, saya beri nilai 7, lah, untuk museum SU ini. Soalnya meskipun penataannya oke dan isinya sangat bermanfaat, tapi memang kurang menarik dibandingkan museum-museum lain. Ada bagusnya, sih, kalau museum SU ini menambah koleksi dengan benda-benda sejarah, atau foto-foto yang lebih variatif. Kalau perlu ada galeri yang isinya foto-foto jadul.
Sayang banget kalau museum ini nggak mengembangkan diri. Soalnya secara bangunan, museum SU ini keren! Halamannya rindang banget, gedungnya juga kuno seperti layaknya bangunan zaman kolonial. Buat foto-foto? Puas banget…….(saya pun memafaatkan halamannya buat ber-narsis ria).

Kamis, 16 Juli 2009

Mentang-Mentang Jelek

Tak gendong, kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
Enak Tho,
Mantheb Tho


Itu adalah cuplikan sedikit dari lirik lagu “Tak Gendong-Gendong” dari penyanyi Mbah Surip. Nama ini sekarang memang lagi ngetop banget, dan jadi fenomena tersendiri. Beberapa koran dan majalah memrofilkan sosok Mbah Surip. Bahkan kakek nyentrik ini juga diundang ke acara talk show dari stasiun tv yang cukup ‘serius’, TVOne.
Fenomena Mbah Surip dengan lagu ‘ajaib’ ini juga menjalar sampai ke pengguna ponsel. Ring back tone (RBT) “Tak Gendong-Gendong” termasuk yang paling laris dipakai handphone-ers. Padahal kalau dilihat lebih jauh, sosok Mbah Surip ini justru menawarkan hal yang ‘buruk’, dalam arti yang sebenernya. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan citra dunia hiburan yang menjual mimpi, semua serba bagus dan keren.
Well, sebelum muncul Mbah Surip sebenernya sudah ada ‘pendahulunya’. Para ‘senior’ Mbah Surip ini juga menggunakan pola yang hampir sama: melawan arus. Arti melawan arus di sini bukan cuman ‘tampil beda’, tapi justru menyajikan hal yang kontradiktif dari yang udah pakem selama ini. Orang-orang seperti Mbah Surip membuat ‘aturan’ sendiri tentang apa yang kayaknya mustahil dicoba di pasar.

Berjudi
Saya nggak tahu pasti sejak kapan demam orang-orang ‘ajaib’ ini melanda Indonesia. Cuman yang jelas, saya merasakan banget munculnya trend ini ketika ada Tukul. Sosok pelawak ini berhasil mengangkat ‘kodrat’ orang jelek. Maaf, ya, kalau bahasanya agak kasar, tapi memang begitulah realitanya.
Sebelumnya ‘orang jelek’ dicitrakan sebagai sebuah lelucon. Misalnya dengan orang-orang yang (sorry, nih) cebol. Mereka sering tampil di TV, tapi dikondisikan sebagai orang cebol yang memang ‘tidak sempurna’. Peran yang ada di TV pun nggak terlalu besar, dan lebih menekankan pada sosok cebol itu. Jadi seolah mereka masuk TV hanya sebagai ‘penggembira’ dan ke-cebolan mereka itu diekspos untuk jadi sebuah komoditi yang bercitra ‘jelek’.
Lain halnya dengan Tukul. Meskipun orang Semarang ini juga diekspos sebagai sosok yang jelek secara fisik, tapi Tukul malah berhasil membuat acara Empat Mata yang laris banget. Dalam hal ini mungkin pendongkrak awal adalah Tukul yang jelek (melawan mainstream), tapi kejelekkan Tukul ini tidak serta-merta membuat dia hanya bertahan sebagai orang jelek saja. Dia bisa menjadi centre of attention, bukan hanya karena kejelekkan dia, tapi juga karena yang dia lakukan ‘beda’, dalam arti postif (bikin talk show yang kocak).
Hal yang sama terjadi juga dengan Kangen Band. Kelompok musik asal Lampung ini tidak hanya menjual anggotanya yang ‘ngampung’ itu, tapi juga menjual sesuatu yang ‘ngampung’, tapi postif (bikin lagu). Jadi intinya citra yang dibangun oleh golongan ‘jelek’ ini tetap bertumpu pada kejelekkan, tapi bukan diekspos dari sisi yang negatif (seperti orang cebol tadi).
Pada awalnya mengorbitkan ‘orang jelek’ bisa dibilang sebagai perjudian. Gimana enggak, mencetak citra ‘jelek’ tapi bisa berbuat positif, dan (yang lebih penting) diterima masyarakat adalah hal yang melawan arus. Apalagi di dunia hiburan, yang mendewakan kesempuranaan fisik. Kalau cuman ngorbitkan cowok-cowok cakep, sih, gampang aja. Tapi gimana dengan mereka yang nggak cakep? Ini jadi tantangan tersendiri.
Modal nekat dan siap rugi nggak cukup untuk jadi landasan mengorbitkan yang anti-mainstream begini. Butuh kejelian membaca pasar. Jadi nggak asal ngorbit. Saya salut banget sama orang-orang yang berani ‘judi’ begini. Walau sekilas mereka terlihat kayak orang bego yang nekat, tapi sebenernya mereka orang-orang sangat selektif, lho.
Pengorbit begini bisa-bisanya ngeliat celah yang jarang dilihat orang lain. Dalam kaitannya dengan pasar, mereka melihat ada satu range masyarakat yang tidak terjamah. Dasarnya aja lah, tiap manusia, kan, punya idola dan role model. Kriteria untuk menjadi role model berbeda di tiap individu. Tapi yang jelas ada kesamaan antara role model dan mereka yang mengidolakan.
Ini berlaku untuk beberapa band yang dianggap alay (saya termasuk yang beranggapan demikian). Pasar yang ingin dituju adalah mereka yang memang berasal dari kelas menengah ke bawah. Dan ternyata apa yang dilakukan pengorbit itu efektif. Kenapa akhirnya Kangen Band bisa diterima oleh masyarakat (yang mayoritas kelas bawah)? Karena sosok personil-personil Kangen sangat dekat dengan masyarakat kelas bawah: band ngampung, yang seolah mewakili para alay.

Komoditas yang Menjanjikan
Kalau mungkin di awal-awal kemunculan Kangen Band, masih sedikit orang yang mau ‘berjudi’ dengan mengorbitkan band ngampung, maka sekarang pengorbitan model begini justru jadi tren. Nggak selalu band, sih. Intinya berusaha mendongkrak popularitas mereka-meraka yang ‘jelek’ ini, terkadang sengaja diekspos kejelakannya, lalu dicari sesuatu yang positif untuk ditunjukkan. Sekarang bisnis begini menjadi suatu tren yang menjanjikan.
Mengapa pasar sangat responsif dengan orang-orang ‘jelek’ begini? Karena ada tuntutan untuk mencari hal yang ‘lain’. Kalau saya liat, sih, sekarang ini ada tuntutan untuk menyediakan berbagai pilihan buat masyarakat. Jadi pada akhirnya semua selera masyarakat bisa terpenuhi. Nggak seperti dulu, yang kalau lagi demam disko, semua ber-ajojing.
Selain itu dampak ‘penasaran’ menjadi penting. Ini didasarkan pada reaksi awal masyarakat ketika mengetahui ada hal yang beda. Kalau dalam hal ini unsur suka-nggak suka tidak menjadi suatu hal dominan. Media dan pengorbit memanfaatkan pasar yang sedang penasaran. Kesempatan ini digunakan untuk mengeruk uang dan popularitas. Kalau nantinya nggak akan bertahan lama, nggak jadi masalah. Toh, efek popularitas yang masif, meskipun sesaat, tetap memberikan keuntungan.
Kalau menurut saya teori yang dijabarkan di atas cocok untuk menggambarkan fenomena Mbah Surip. Pengorbit kakek berambut rasta ini memanfaatkan sosok yang ‘unik’, dan ‘jelek’ untuk memancing pasar. Ternyata pancingan pengorbit berhasil. Masyarakat penasaran, dan akhirnya media pun beramai-ramai mengulas Mbah Surip ini.
Kalau dilihat dari segi mana Mbah Surip ini bisa menjadi fenomena, saya rasa fisik dan lagu saling terkait. Kalau lagunya Mbah Surip sejenis dengan D’Masiv, misalnya, rasa penasaran orang hanya akan berhenti pada sosoknya aja. Karena nggak ada yang lain dari kakek yang ngomongnya ngelantur ini, selain fisiknya. Tapi karena lagunya yang ‘nggak biasa’ (sebenernya lagunya lebih tepat dibilang nggak oke), orang-orang jadi tertarik.
Kalau hanya lagu yang ‘aneh’ pun nggak bisa jadi magnet. Apalagi sebenernya “Tak Gendhong-Gendhong” ini dari segi musik kurang menjual. Tapi karena ada sosok Mbah Surip yang ‘nggak tau malu’ begitu, jadilah lagunya terdongkrak. Intinya, sih, antara Mbah Surip sebagai penyanyi nyentrik dengan lagu ‘ajaib’-nya itu saling membutuhkan lah.

Trend Sesaat (?)
Pertanyaan yang kemudian muncul, fenomena ‘orang jelek’ begini berdampak positif atau negatif? Banyak yang bilang negatif, apalagi untuk urusan musik. Tapi kalau buat saya, sih, bisa dua-duanya. Tergantung darimana melihatnya.
Sebenernya fenomena begini, kan, secara sosial bagus. Maksudnya sudah ada kecenderungan masyarakat untuk terbuka terhadap perbedaan. Ada kesadaran dari masyarakat tentang pluralitas. Tidak ada suatu doktrin ‘mati’, bahwa dunia hiburan harus diisi wajah ganteng dan cantik. Ibaratnya sekarang siapa aja bisa jadi artis.
Tapi kalau untuk kualitas, mungkin jadi negatif. Misalnya aja dengan adanya musik yang (katanya) kacangan. Juga bakal muncul budaya instan. Ini didasarkan pada pasar yang makin terbuka, sehingga yang ‘ecek-ecek’ pun tetep laku. Bahkan dampak negatif juga menyangkut kelangsungan tren ini.
Mungkin kita melihat bagus kalau tren ‘orang jelek ngetop’ ini selesai. Dan memang kayaknya fenomena ini berpotensi untuk tidak bertahan lama. Tapi kalau saya melihatnya justru jangan cepat selesai. Dalam arti, fenomena ini diliat bukan sebagai trend ‘mentang-mentang jelek’, tapi dilihat sebagai tren keberagaman. Nah, supaya tetep berlangsung tren keberagaman, maka harus ada kesadaran juga dari ‘yang jelek-jelek’ itu untuk meningkatkan kualitas. Jangan hanya karena sekarang orang jelek lagi laku, terus kualitas minim, ya.

Rabu, 15 Juli 2009

Capres dan Keluarga Doraemon

Masih inget, kan, sempet ada grup Facebook dengan judul “Say No To Megawati”? Nggak disangka-sangka grup ‘iseng’ justru bikin heboh. Nggak cuman karena member-nya yang banyak, tapi juga kasus yang dialami grup pembenci Mega ini. Tim suksesnya Mega sampai melaporkan grup FB ini ke Panwaslu karena dianggap melanggar aturan pemilu. Weleh, weleh….
Mengikuti jejak “Say No To Megawati”, maka muncul grup sejenis. Kali ini yang jadi obyek adalah SBY. Sempet beredar sebuah grup berjudul “Say No To SBY”. Masih misterius juga, sih, siapa yang bikin, tapi untungnya FB ini nggak sampai heboh karena nggak jadi perkara.
Sekarang yang muncul adalah sebuah artikel tentang capres dan Doraemon. Saya nggak tau siapa yang nulis, tapi yang jelas saya belum pernah baca artikel ini. Ibu saya malah ngasih tau tentang foto-foto capres yang dibandingkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita Doraemon. Meskipun bakal banyak yang tersinggung, tapi semoga artikel fun ini nggak sampai bikin heboh karena jadi perkara.


Okelah, sekarang saya jadi pengen ikut-ikutan berbagi pendapat soal capres dan Doraemon. Ini hasil analisis saya berdasar gambar pembanding yang dipakai oleh si penulis artikel itu (kreatif juga, ya, yang nulis, bisa bikin perbandingan kayak gitu). Mari kita bandingkan!

Bapaknya Nobita = SBY
Kalau melihat secara fisik, memang ada kemiripan antara presiden RI ini dengan bapaknya Nobita. Sama-sama gede, dan gemuk. Bedanya, bapaknya Nobita pendek; sementara SBY tinggi menjulang. Kalau dilihat dari wataknya, mungkin agak mirip juga. Digambarkan Bapaknya Nobita adalah bapak yang baik. Citra SBY, kan, bapak-bapak yang baik dan kalem (nggak tau, sih, bener apa enggak, ya, aslinya…).
Cuman Bapaknya Nobita kurang dapet tempat di seri Doraemon. Lebih banyak Nobita yang nampang. Bahkan porsi Bapaknya Nobita dengan Ibunya Nobita, lebih banyak ibunya. Ini jelas beda banget dengan SBY. Bapak satu cucu itu justru ngetop banget. Dia selalu ada hampir di setiap berita. Yah, namanya juga presiden, ya.


Bapaknya Suneo = JK
Wah, yang bikin perbandingan ini memang bisa…..aja. Emang bener, sih, Bapaknya Suneo agak mirip sama JK. Sama-sama pake kacamata, dan berkumis pula (meskipun kumis Bapaknya Suneo bergaya kumis Jojon gitu). Kesamaannya lagi, Bapaknya Suneo dan JK sama-sama kaya. Tapi urusan sombong-menyombong, saya kurang tahu. Sejauh ini, dari yang terlihat di TV, JK tergolong biasa aja, nggak show off. Bahkan dia cenderung sederhana, dan blak-blakan. Beda, kan, dengan Bapaknya Suneo yang doyan pamer.
Sama seperti Bapaknya Nobita, porsi Bapaknya Suneo di seri Doraemon juga nggak banyak. Bahkan masih mending Bapaknya Nobita. Sedangkan JK, porsi nampang di media sangat besar. Liat aja waktu kampanye presiden. Iklan JK-Wiranto dibuat dalam versi yang sangat beragam. Belum lagi si bapak kecil (karena dia pendek) ini juga sering nampang di talk-show. Jadi kalau urusan fisik, Bapaknya Suneno dan Jk boleh mirip, tapi soal ngetop, kayaknya JK jauh lebih unggul.

Jaiko = Megawati
Waduh, ini, nih, yang potensial bikin konflik. Jangan-jangan yang bikin perbandingan ini adalah salah satu ‘pembenci’ Mega? Mungkin juga. Karena Jaiko identik dengan hal-hal yang negatif. Jadi sasaran kenegatifan itu adalah Megawati.
Kalau dilihat-lihat Mega sebenernya nggak mirip, kok, sama Jaiko. Meskipun sama-sama ‘subur’ tapi Jaiko masih kalah cantik lah dibanding Mega. Kalau perbadingan sifat, bisa jadi. Si Jaiko ini, kan, digambarkan manja, dan agak nyebelin. Nggak jauh-jauh, sih, dari sifatnya Bu Mega (yang keliatan di TV, lho. Aslinya saya nggak tau).
Tapi, lagi-lagi Jaiko nggak ngetop di seri Doraemon. Kenapa, ya, capres-capres ini dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang nggak popular di Doraemon? Apa karena ini memberi kesan kontradiktif (capres aslinya, kan, negtop banget, dibnadingkan sama tokoh-tokoh nggak populer)? Itu, sih, cuman penulisnya yang tahu.

Kalau tiga capres di atas udah dibandingkan dengan tokoh-tokoh dalam Doraemon, gimana dengan cawapresnya? Ternyata dari artikel yang didapat ibu saya itu cuman Prabowo yang ‘mirip’ dengan salah satu tokoh Doraemon. Nggak tanggung-tanggung, ‘kembarannya’ Pak Bowo ini adalah Giant! Wah…ini hinaan atau pujian, ya? Atau malah penulisnya sengaja menyamakan Prabowo dengan Giant karena Mega udah ‘mirip’ dengan Jaiko (adiknya Giant)? Bisa jadi. Kalau emang bener begitu, jadi klop, kan? Di kehidupan nyata Prabowo adalah wapresnya Mega. Di seri Doraemon, Mega-Prabowo pun bersaudara, Giant dan Jaiko. Cocok lah.
Tapi kalau dari analisis karakter, kayaknya Prabowo nggak seekstrem Giant. Soal ambisi, sih, mungkin iya. Tapi kalau soal urat malu yang udah putus (tahu, kan, kalo si Giant ini hobi nyanyi padahal suaranya parah banget?), kayaknya Prabowo masih mendingan, deh. Walau kadang-kadang juga nggak tahu malu (bukti: kekalahan pemilu, yang dia berkoar-koar ada kecurangan), tapi nggak sampai separah Giant. Soal sifat ‘menjajah’ á la Giant, juga masih diragukan bisa ditemukan dalam sosok Prabowo. Setidaknya yang saya liat, Pak Bowo itu nggak sampai setega Giant kalau udah ‘malak’ Suneo.
Nah, sekarang saya musti putar otak buat nyari ‘kembarannya’ Wiranto dan Boediono dalam tokoh seri Doraemon. Setelah saya liat-liat lagi, sebenernya Boediono cocok juga kalau jadi Suneo. Meskipun nggak mirip banget, tapi diantara semua tokoh Doraemon, siapa lagi yang paling mendekati, selain Suneo?
Kebetulan secara perawakan, cocok lah kalau Pak Boed punya kembaran kayak Suneo. Sama-sama kurus, kecil. Tapi untuk urusan sikap, jelas beda jauh. Suneo agak bawel (kebanyakan pamer, sih). Beda banget sama Pak Boed yang sangat ‘halus’ dan kalem (saking ‘halusnya’ sampai nggak sabar buat nunggu Pak Boed ngomong). Suaranya juga pelan, nggak cempreng, kayak Suneo. Kalau urusan duit, sih, kayaknya Pak Boed dan Suneo sama: tajir. Tapi si Suneo doyan pamer, sedangkan cawapres yang bakal jadi wapres itu malah terlihat sederhana banget.
Gimana dengan Wiranto? Untuk kasus ini memang agak susah, habisnya nggak ada yang mirip. Kalau disamakan dengan Dekisuki, kayaknya berlebihan. Secara fisik, nggak mirip sama sekali. Soal karakter, kayaknya juga kurang. Dekisuki, kan, kutu buku gitu. Kalau Pak Wiranto? Wah, nggak tau, deh. Dari penampilannya, sih, bukan tipe ‘anak-rajin belajar-idaman-orang tua’.
Kalau dimiripkan dengan Nobita, juga jauh banget. Wiranto dengan wajahnya yang sangat ‘jadul’ itu jelas beda sama Nobita, si tampang blo’on. Belum lagi pembawaan Wiranto yang kalem tapi berwibawa, beda jauh dengan Nobita yang kekakanak-kanakan dan keliatan malesnya.
Tokoh lain yang masih tersisa hanya Pak Guru, dan Doraemon. Soalnya nggak mungkin, kan, bandingin Wiranto dengan Sizuka? Atau malah dengan adiknya Doraemon, Doremi. Jadi dua calon ‘kembaran’ Wiranto hanya Pak Guru dan si robot kucing itu. Cuman dari kedua tokoh tersebut nggak ada yang mirip. Pak Guru yang galak dan gendut, jelas bukan Wiranto banget. Apalagi Doraemon. Kalau menurut saya, sih, Doraemon lebih mirip dengan Abdul Hafiz Anshari, ketua KPU. Sama-sama pendek, gendut, dan ‘bulat’. Bedanya, Pak Abdul nggak punya kantong ajaib yang bikin Pemilu lancar dan nggak kisruh. Kalau Doaremon, tahu ada pemilu pasti ngeluarin alat “Mesin Pembuat Beres”, yang bikin masalah DPT nggak amburadul.
Balik ke Wiranto. Kira-kira ada ide, nggak, siapa tokoh dari seri Doraemon yang paling mirip dengan Wiranto?

Selasa, 14 Juli 2009

Kangen Makanan Solo



Momen pulang kampung adalah saat yang paling ditunggu buat anak rantau seperti saya. Selain bisa ketemu dengan keluarga, juga sekalian rehat dari kuliah (walau nggak otomatis tugas tambah dikit, ya). Saat pulang kampung paling rame adalah saat lebaran (ya, ini, sih, udah pasti). Cuman, buat saya lebaran bukan saat yang paling oke buat pulang. Kenapa? Ya, karena jatah liburnya cuma sebentar (seminggu doang), tiket mahal, dan dapetin tiket pun susahnya minta ampun. Makanya kadang saya suka males pulang kalo lebaran. Tapi berhubung di rantau saudara nggak ada (ada, sih, cuman hubungannya nggak deket), saya jadi ‘terpaksa’ pulang. Apalagi sekarang saya punya temen pulang kampung (tetangga saya), jadinya kalo ‘desek-desekkan’ pas pulang, ada temennya. Lumayan……

Sebenernya ada satu hal yang paling saya tunggu-tunggu pas pulang kampung: makan. Bukan cuman perbaikan gizi, tapi juga berwisata kuliner. Setelah kurang lebih tiga tahun di Depok, saya tetep belum ketemu makanan yang bener-bener ‘mak nyus’. Padahal yang namanya warteg di Depok, tuh, banyak banget. Restoran pun nggak kalah banyak. Tapi tetep lah, Solo paling jago soal kuliner. Sedap banget!
Saya juga heran sebenernya, kenapa masakan di Depok nggak seenak masakan Solo. Apa mungkin saya terbiasa makan makanan yang bumbunya pekat, seperti masakan Solo? Bisa jadi. Atau karena emang dasarnya punya ‘perut Solo’, jadi kalau belum makan makanan Solo nggak manteb rasanya? Itu juga mungkin.
Okelah, back to topik awal, tentang makanan. Saya punya beberapa makanan Solo yang selalu bikin kangen, apalagi kalau pas di Depok. Apa aja?

1. Bebek Goreng Pak Slamet
Ini adalah makanan paling bikin kangen. Sampai sekarang, saya belum ketemu bebek goreng seenak punya Pak Slamet ini (lebay, sih, tapi bener, kok). Dulu si bebek mak-nyus ini cuman buka di daerah ‘asalnya’, yaitu Kartasura (buka mulai pagi, sekitar jam 7-an. Tapi jam 10-an biasanya udah habis). Sekarang Pak Slamet udah buka cabang di Tipes (buka mulai jam5-an sore), di daerah Palur (deket rumah saya. Asiiiiiiik), dan di Galabo (daerah makan-makan di Solo). Bahkan saya pernah dengar kalo bebek legendaris ini juga udah ada di Bandung! Sampai segitu hebohnya, ya, si Bebek ini.
Sekilas bebek goreng ini sama dengan bebek goreng lain. Tapi kalo udah coba rasanya, bakalan jelas bedanya dengan warung bebek goreng yang lain. Dagingnya empuk banget, kulitnya juga tebeeeel, kenyal. Rasa gurihnya itu juga ngeresep sampe ke daging. Buat yang doyan goreng crispy, siap-siap kecewa karena bebek goreng ini emang kurang ‘kriuk’. Cuman memang bukan kriuk-nya yang jadi andalan, melainkan rasa gurihnya.
Kalo keluarga saya lebih sering bawa pulang, nggak makan di tempat. Dan itu pun bebeknya dalam keadaan belum digoreng, artinya digoreng di rumah. Rasanya tetep maknyus, tapi emang lebih enak digoreng di tempat Pak Slamet-nya. Saya denger, sih, yang bikin enak gorengnya adalah minyak yang dipakai, karena pake jelantah. Emang terdengar agak jijik, sih, cuman efek jelantah itu bikin rasa bebeknya makin gurih.
Selain bebek yang enak, rumah makan Pak Slamet ini juga beken karena sambelnya yang nendang banget. Orang Jawa bilang sambelnya ‘sambel korek’. Jadi cabe yang dipake adalah cabe rawit. Yang bikin enak, sambel ini dikasih sedikit minyak jelantah yang dipake buat nggoreng bebek gurih itu. Sambelnya emang lumayan pedes, tapi pedesnya mantab!

2. Tengkleng
Buat orang luar Solo mungkin asing denger nama makanan ini. Wajar, sih, karena setau saya yang namanya tengkleng cuma ada di kota asal saya itu. Biasanya tengkleng rame banget pas Idul Adha. Maklum bahan dasar makanan ini adalah kambing.
Kalau saat Idul Adha daging kambing dibikin sate atau tongseng, jeroan diolah jadi gulai, maka tulang kambing dan sedikit jeroan lain diolah jadi tengkleng. Agak heran, ya, kenapa orang Solo rakus banget sampai tulang aja doyan? Justru di situlah ‘seni’-nya. Tulang-tulang muda dan sedikit jeroan diamasak dengan bumbu (saya nggak ngerti juga, sih, bumbunya apa aja. Yang jelas ada kunyit juga yang bikin kuah jadi kuning gitu) dan tulang keras, dimana biasanya masih ada daging-daging ‘sisa’ yang nempel di tulang keras itu.
Lebih enak kalau dimakan tanpa nasi. Jadi ‘daging’ tengkleng dan kuah dimakan di mangkok. Cara makannya lebih seru kalau pake tangan. Daging yang nempel digigit-gigit, terus kalau ketemu sumsum, tinggal di-sruuuuuuuuuuuuuut, alias disedot. Asyiknya bumbu kuah udah ngeresep sampai tulang dan daging, jadinya ada rasa gurih di dagingnya. Karena bumbu butuh yang ngeresep, masaknya juga cukup lama. Dan bagusnya kalau makan tengkleng bukan langsung ‘fresh from the oven’, tapi tunggu sampai agak dingin, lalu dipanasin lagi. Mak-nyuuuuuuuuuuuuuuus.
Saya udah lama banget nggak makan tengkleng. Maklum, kalau Idul adha nggak pernah pulang kampung. Jadinya saya kangen banget makan tengkleng. Sebenenernya ada, sih, yang jual tengkleng tiap hari (bukan karena even Idul Adha). Katanya yang paling enak di Tengkleng Pasar Klewer. Cuman yang jual buka-nya siang, jadi agak males juga ke Klewer siang bolong (dan membayangkan suasana di Klewer yang begitu rame).

3. Serabi
Orang-orang mungkin lebih akrab dengan surabi, daripada serabi. Tapi jangan salah, makanan khas Solo ini nggak kalah enak (buat saya, sih, lebih enak) dari saudara Sunda-nya itu.
Serabi dan surabi adalah dua makanan yang serupa tapi tak sama. Kalau selama ini surabi bentuknya kecil, dengan kuah santan, maka serabi bentuknya besar, dan tanpa kuah santan. Justru santannya dimasak bersama serabi, alias serabi itu adonannya udah pake santan. Makanya makanan ini nggak bisa bertahan lebih dari 24 jam. Karena kalu lebih dari waktu segitu, bisa bau. Selain santannya yang manis, serabi juga punya ‘kulit’ di pinggir yang rasanya gurih banget (apalagi kalau agak gosong). Kulitnya tipiiiis, dan nggak crispy, tapi enak.
Yang paling enak adalah Serab Notosuman. Sesuai namanya, toko Serabi ini adanya memang di Notosuman. Tapi sekarang udah buka cabang seperti di Palur, Widuran, Stasiun Balapan, dll (saya agak lupa juga, soalnya lumayan banyak). Harga per serabi sekitar 1600-an. Kalau mau beli serabi ini, datengnya harus pagi atau siang, karena kalau sore udah habis.
Sebenernya saya pernah ketemu warung Serabi di Depok, cuman serabi yang dijual nggak banget. Yang dijual adalah serabi gopek-an (dan dijual dengan 1000). Kalau serabi model begitu emang udah terkenal nggak enak. Makanya waktu saya liat warung itu jual serabi dengan jenis yang begitu, saya udah nggak tertarik nyoba.
4. Sambal
Indonesians love sambal. Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan salah satu karakter orang Indonesia. Dimana-mana ada sambal, dari Sabang sampai Merauke. Tapi buat saya sambal ulek selalu bikin kangen. Sambal ini adalah sambal yang diulek (ya, namanya juga sambal ulek), disajikan langsung di tempat ulek dari batu (saya nggak tau namanya apa. Tapi bisa dibayangin, kan?), dan diberi jeruk nipis. Sambal begini paling enak kalau dimakan bareng ikan bakar.
Bumbu sambel ini sebenernya udah umum banget. Cabe merah, bawang merah, terasi, dan garam. Cuman yang menentukan enak atau enggaknya adalah ‘tangan’ yang bikin. Makanya saya beruntung karena di rumah, ibu saya pinter banget bikin sambal model begini.

Nama-nama di atas adalah makanan-makanan yang selalu bikin saya pengen pulang kampung. Di Depok saya jarang banget ketemu makanan begitu. Kalaupun ketemu rasanya sangat diragukan. Untungnya sekarang saya lagi ulang kampung. Makanya mumpung di Solo, saya puas-puasin dulu icip-icip makanan kota sendiri.
Selamat Makan!

Minggu, 12 Juli 2009

Balada Warnet Lemot

Suatu kali saya lagi ngebet banget ke warnet (as usual, kangen buka FB). Karena males ke warnet langganan (males jalan agak jauh), saya memutuskan untuk nyari warnet deket-deket tempat saya jalan saat itu. Saya inget, ada satu warnet yang dulu sempet jadi favorit saya (tapi sekarang udah tergantikan dengan yang lain). Kebetulan warnet itu memang nggak jauh. Maka berangkatlah saya ke sana.
Mantan warnet langganan saya itu ternyata nggak berubah. Masih sempit, dengan billing box yang bikin kaki kesemutan (karena kecil), dan komputer yang jadul (plus keyboard yang huruf-hurufnya udah banyak yang ‘ilang’). Nggak apa-apa lah. Toh, dulu saya suka warnet ini karena aksesnya cepet, ada anti-virus di setiap komputernya yang bisa di-update sendiri, dan dowload-nya pun cepet. Apalagi sekarang harganya lebih murah Rp 1.000. Makin seneng lah saya!
Pertama yang dibuka adalah Mozilla Firefox. Biasanya kalo udah buka ini, bakal keluar kotak pencari Mozilla, atau Google. Tapi saya liat, kok, nggak keluar-keluar. Dalam hati saya udah mikir warnet ini mulai ‘nggak beres’.
Karena nggak betah nunggu terlalu lama, langsung aja saya masukkin alamat web-nya. Ini sekalian sebagai ‘pemancing’, siapa tau Mozilla-nya lemot, tapi giliran bukan web jadi cepet. Seperti biasa web wajib saya adalah Facebook.
Apa yang terjadi? Teryata jalannya internet menjadi semakin lambat! Saya coba klik “New Tab”, dan buka situs yang ‘biasa’ aja (Google), sekedar untuk nge-cek kecepatan akses. Ternyata tetep aja lemot! Bahkan dua kali lebih lemot! Astaghfirullah……..Mantan warnet langganan saya ini teryata jadi super duper payah begini.
Akhirnya kesabaran saya habis juga. Saya meutuskan untuk pindah ke warnet langganan saya. Yah, meskipun musti jalan agak jauh, setidaknya aksesnya nggak lemot. Sebelum pergi, saya liat dulu bayar-nya. Masih 1000, nggak banyak-banyak amat.
Ketika saya membayar warnet, penjaga warnet tanya ke saya,
“Mbak, kok, udahan? Udah selesai, ya?” tanya si Mbak Penjaga Warnet.
“Iya, udah selesai.”
“Jalannya lemot, ya, Mbak?”
Dalam hati saya bilang, iya. Tapi saya nggak tega, akhirnya saya white lie aja (kayaknya ini bukan white lie, tapi black lie, karena menyesatkan). “Enggak, kok. Emang udah selesai.”
Saya pun keluar dari warnet itu. Sambil jalan menuju warnet langganan, saya menyesal kenapa nggak langsung bilang kalau warnetnya emang lemot parah. Kenapa musti bohong? Toh itu bisa jadi ‘evaluasi’ buat warnetnya biar aksesnya dicanggihkan lagi. Bisa jadi harga warnet diturunkan 1000 karena memang koneksinya makin turun juga.
Okelah, kejadian itu udah berlalu. Sekarang warnet itu udah tutup (beneran, lho). Mungkin makin lemot aksesnya, jadi makin dikit orang yang mau ke situ. Padahal harganya termasuk paling murah di antara warnet-warnet lain.
Problem dengan another lemot saya temukan juga di sebuah warnet yang murah (Harga Memang Nggak Bohong. Ya, kan?). Ini bahkan lebih parah, karena flashdisk saya ikutan rusak. Setelah nge-net dan download sampai habis sekitar 6000, saya akhirnya harus kecewa karena hasil download itu nggak bisa dibaca! Entah kenapa FD saya nggak bisa dibaca komputer mana pun! Oh God…………
Cerita kakak sepupu saya lebih seru lagi. Pernah suatu kali dia ke warnet. Sialnya warnet itu lemotnya minta ampun. Merasa emosi, kakak saya pengen segera pergi dari warnet itu. Tapi dobel sial buat dia, warnet lemot itu menetapkan charge langsung satu jam! Jadi bukan per menit atau per lima belas menit. Wah, warnet model begini, nih, yang ‘pinter’. Mungkin nyadar kali, ya, kalau koneksinya ancur parah, jadinya sengaja ‘nyolong’ charge gitu. Yah, terpaksa, deh, kakak saya bayar buat satu jam, padahal mainnya cuman sepuluh menit.
Paling gila adalah warnet double atau malah triple looser. Biasanya warnet begini nggak cuman lemot, tapi juga banyak virus. Lebih parah kalau charge-nya mahal, dan susah download. Saya pernah ketemu warnet model begini. Sialnya, saya sedang dikejar deadline untuk ngirim tugas ke temen.
Saya ke warnet yang deket dari tempat saya berdiri saat itu. Sebenernya urusan lemot, nggak parah-parah amat (nggak bisa dibilang cepet juga, sih). Okelah, saya maklum karena daripada saya pindah tempat, waktunya terbuang banyak. Dengan sabar menunggu saya ngirim tugas lewat e-mail dengan attach file. Otomatis FD saya dibuka. Setelah file selesai dikirim, saya pun segera meninggalkan warnet. Sebelum pergi, saya minta tolong penjaga warnet buat scan virus. Ternyata ketika di-scan ada virus-virus yang nggak bisa ilang. Parahnya lagi ketika FD dibuka dokumen saya ilang! God………….Padahal saya musti ngirim satu tugas lagi! Dan deadline-nya jam delapan malam, sementara jam setengah enam sore saya masih di warnet itu. Damn!
Biasanya nasib dari warnet-warnet lemot begini adalah cepet bangkrut. Semurah-murahnya dia, tetep aja orang males ke sana. Karena inti dari intrenet itu, kan, kecepatannya. Kalau lemot, mana mau. Tragedi penutupan warnet lemot begini sudah terbukti pada mantan warnet langganan saya. Dan menimpa satu warnet lagi.
Dulu warnet ini pernah jadi langganan saya waktu SMP. It means, saya baru kenal yang namanya internet di umur segitu, dan pada tahun segitu (2001-an). Awalnya warnet langganan saya itu fasilitasnya keren, koneksinya juga cepet. Yang plus lagi, tempatnya nyaman banget, gede, dan bersih. Kurang apa lagi coba?
Tapi itu dulu, lho. Ketika saya udah SMA (sekitar 2005/2006) warnet gede yang keren itu berubah jadi double looser. Gimana enggak, koneksinya lemot parah, dan komputernya jadul gila! Bahkan CPU-nya masih pake CPU IBM tahun 80-an yang masih ada tempat buat disket super gede itu……Ya ampuuuuuuuuun! Di saat semua orang udah mulai pake FD (belum menjamur seperti sekarang, sih), dia masih berdisket segede Gaban gitu. Waduh!

Itu secuplik kisah-kisah saya tentang warnet-warnet lemot. Warnet looser gini beredar di mana aja, nggak selalu di deket kampus (yang menganut asas ‘harga mahasiswa’), tapi di tengah kota pun banyak yang begitu. Bahkan harga selangit nggak jaminan koneksinya oke. Ada beberapa warnet yang kasih charge mahal cuman buat bayar tempat yang nyaman, tapi urusan koneksi masih sangat ketinggalan. Kalau saya lebih memilih menganut sistem langganan. Jadi kalau udah percaya satu warnet tertentu, mendingan jangan berpindah ke lain hati, kecuali kalau terpaksa.

Sabtu, 11 Juli 2009

Penyanyi, Saweran, dan Penonton Dadakan

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kata “saweran”? Mungkin sebagian dari kita bakal mengarahkan pikirannya ke penyanyi dangdut, penari jaipong, abang-abang teler yang asyik bergoyang, atau lembaran-lembaran uang. Memang pikiran-pikiran itu nggak salah. Saya pun sempet mikir bahwa saweran identik dengan penyanyi dangdut yang genit plus abang-abang mata keranjang yang doyan teler (pikiran yang lebih sadis, bahkan).
Saweran selama ini sering dilihat secara negatif. Tapi baru satu kali saya melihat saweran dalam hal yang positif, bahkan menjadi suatu bagian dari upacara sakral. Ini nggak ada hubungannya sama saweran dangdut, ya. Saweran yang dimaksud di sini adalah swaeran dalam upacara pernikahan.
Mungkin banyak yang bilang saya udik banget baru tahu ada saweran buat upacara nikah. Maklum, nikahan ini bukan nikahan suku saya (ini nggak bermaksud menyinggung SARA, ya). Di adat suku saya (Jawa), nggak ada upacara yang namanya ‘nyawer’, makanya kata “saweran” memang nggak akrab dengan saya. Baru beberapa hari lalu waktu kakak sepupu saya nikah dengan cewek Sunda, saya kenal istilah “saweran” dengan konotasi yang positif.
Saya nggak tahu makna asli saweran, tapi yang saya lihat di nikahan kemaren, sawerannya berupa dua mangkok. Yang satu berisi permen, dan satu lagi berisi uang koin mulai dari 100 sampai 500 (entah berapa jumlahnya, yang jelas banyak banget) dan permen. Saweran ini nggak dikasih oleh warga ke pengantennya, tapi sebaliknya pengantinnya yang ngasih saweran ke tamu yang datang. Dan ngasih saweran bukan dalam bentuk bener-bener dikasih dari tangan ke tangan, tapi di lempar.
Yang melempar saweran adalah mempelai wanitanya. Waktu saweran dilempar, tamu dan mereka yang datang langsung berebut. Bahkan banyak yang rela memunguti di jalan. Padahal jumlah yang disawer ini nggak banyak (kecuali yang niat banget mungut semua uang koin.(Kalau itu, sih, dijumlah juga pasti dapet banyak). Katanya cewek yang dapet saweran, dan dia belum nikah, bakal segera menyusul nikah. Sama kayak buket bunga, ya, kalau di negara-negara Barat.
Beralih ke hal yang identik dengan saweran, yaitu penyanyi dangdut. Nah, di acara nikahan kakak saya ini juga ada band dan dua penyanyi cewek yang jadi hiburan. Tapi penyanyi-penyanyi ini nggak dikasih saweran sama penonton, lho (kan udah dikasih duit sama yang bikin acara). Mereka cuman bertugas untuk menghibur para tamu.
Apakah para tamu terhibur? Buat sebagian, tidak; tapi sebagian lain, iya. Kalau saya dan keluarga saya yang dateng waktu itu, kehadiran penyanyi-penyanyi itu justru nggak menghibur, tapi malah menganggangu. Apalagi dengan sound system yang suaranya nge-bass banget (sampai bikin jantung saya ikutan dag-dig-dug), tambah bikin berisik. Sialnya saya dan keluarga nggak bisa langsung ngacir karena acara baru selesai sore hari.
Cuman buat sebagian lain, kehadiran dua penyanyi yang “cantik” itu (dengan rambut rebonding, dan di-cat coklat) sangat menghibur. Terbukti pas nikahan, depan rumah yang dipakai buat acara langsung penuh dengan orang-orang yang antusias nonton. Bahkan sampai jadi arena jualan, karena ada penjual cendol, siomay, bakso, dsb, yang markir dagangannya di situ.

Semangat penonton dadakan ini nggak cuman sampai pada taraf ‘nonton’, tapi juga request lagu, bahkan ikutan nyanyi bareng para penyanyinya. Yang lebih seru, anak-anak kecil malah ikutan nyanyi lagu “Lupa-Lupa Ingat”, dan “Cari Jodoh”! Waduh, lagu-lagu itu ternyata familiar sekali, ya, di kalangan anak-anak.

Yang bikin salut, penonton dan penyanyinya betah banget berlama-lama nonton dan nyanyi sampai sore. Bahkan penyanyinya nggak berhenti nyanyi dari jam 10 pagi sampai acara selesai, jam 3 sore! Padahal lagu-lagu yang dinyanyiin nggak semuanya mellow dan slow, ya. Banyak juga yang up-beat, dan kadang penyanyinya pun ikutan goyang. Mmmm….penyanyi-penyanyi tingkat kecamatan aja udah sekuat itu nyanyi non-stop, apalagi yang tingkat internasional, ya….

Rabu, 01 Juli 2009

Why Must Be Golput?

Pemilu legislatif telah berakhir. Tapi bukan berarti pemilu di Indonesia pada tahun ini sudah benar-benar berakhir. Masih ada pemilu lagi yang akan diselenggarakan bulan Juli, yaitu pemilu presiden. Itu artainya suara rakyat Indonesia masih dibutuhkan, setidaknya sekali lagi, untuk menentukan pemimpin negara ini.
Berbicara tentang pemilu legislatif 9 April yang lalu, maka kita tentu ingat tentang kejadian-kejadian yang mewarnai pesta demokrasi terbesar itu. Mulai dari hasil penghitungan suara yang molor, kisruh DPT, sampai caleg-caleg depresi. Di antara sekian banyak kejadian menjelang, saat, dan sesudah pemilu ada satu hal yang menjadi fokus pikiran saya, yaitu golput.


Sebelum pemilu digelar, kita tentu mengetahui bahwa MUI sempat mengeluarkan fatwa Haram Golput. Fatwa ini mengacu pada prediksi tingkat golput yang sangat tinggi pada pemilu yang disebut paling kacau sepanjang sejarah Indonesia ini. Pada akhirnya isu Haram Golput ini mereda, digantikan oleh promosi besar-besaran partai-partai peserta pemilu. Promosi ini kemudian mereda, setelah pemilu selesai. Dan berita yang ramai adalah penghitungan suara pemilu. Tapi di tengah berita penghitungan suara, muncul sebuah berita tentang para golput yang jumahnya tidak sedikit.
Menyaksikan berita itu membuat saya berpikir tentang golput. Pemikiran itu akhirnya membuahkan sebuah pertanyaan: Mengapa harus golput?

Sebelum menjawab pertanyaan itu mari kita kumpulkan dulu alasan-alasan golput. Salah satu alasan itu adalah tidak terdaftar DPT. Kemudian alasan kedua, bingung memilih siapa, dan belum kenal betul dengan partai-partainya. Lalu alasan ketiga, golput karena menilai para peserta pemilu semuanya tidak kompeten.
Menurut saya ketiga alasan itu yang paling banyak keluar dari mulut rakyat Indonesia sebagai alasan golput. Jika melihat alasan pertama, maka silakan menyalahkan birokrasi yang bergerak lambat dalam pendataan. Lalu jika alasan kedua dan ketiga yang dipakai, maka kesalahan bisa ada pada pihak pemilih maupun yang akan dipilih. Bisa saja calon pemilih adalah orang yang apatis terhadap pemilu, bisa juga memang dia sama sekali tidak kenal dengan calon yang dipilih (jika melihat pada alasan kedua), atau sosialisasi para partai kurang.
Setelah penjelasan singkat tentang jawaban kenapa golput, maka saya langsung pada pembahasan pokok. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti mereka yang apatis terhadap pemilu. Pembahasan ini makin menjadi perhatian saya ketika menyaksikan berita tentang Kongres Golput yang diadakan oleh Sri Bintang Pamungkas. Mantan aktivis mahasiswa ini dibantu beberapa simpatisan, secara provokatif menyuarakan ajakan untuk golput, lengkap dengan ‘suvenir’ pendukung, seperti kaos bertuliskan (tidak secara detail) “Pemilu Bodoh, Yang Milih Bego”.
Tulisan serta aksi yang dilakukan oleh Sri Bintang dan para simpatisannya tersebut membuat saya bertanya-tanya: Ini maunya apa? Apakah mereka menganjurkan semua rakyat Indonesia untuk golput dan memboikot pemilu? Lalu kalau pemilu diboikot, mau diapakan negara ini?
Pikiran terlogis versi saya mengenai golput ini adalah golputers tidak ingin ada perubahan di negara ini. Berarti mereka puas saja dengan pemerintahan sekarang, yang katanya carut-marut. Kalau ingin perubahan, harusnya ikut pemilu, karena dengan adanya pemilu akan ada pergantian kekuasaan. Itu artinya ada harapan untuk mengganti pemerintahan kacau.
Kalau dikatakan peserta pemilu tidak kompeten, mengapa tidak mengajukan calon sendiri yang dirasa kompeten? Masalah menang atau kalah itu tidak penting, karena sudah memilih yang dirasa kompeten. Aspirasi sudah tersalurkan.
Jika dikatakan bahwa pemilu itu tidak seharusnya ada karena hasilnya sama saja, negara tidak berkembang, lalu ingin seperti apa? Apakah ingin tidak ada pemilu? Kalau memang tidak lewat pemilu bagaimana cara untuk menciptakan pemerintahan yang kondusif?
Yang membuat saya heran, mengapa golput dipandang sebagai aksi yang ‘pahlawan’, karena menolak pemerintahan yang kacau? Kalau di mata saya, aksi golput sama saja dengan aksi ‘sok pahlawan’. Niatnya menyelamatkan, tapi menyesatkan. Kalau tidak pemilu, berarti puas dengan pemerintahan sekarang yang amburadul. Bukankah itu menyesatkan?
Kita memang sulit mengharapkan calon yang sekarang ikut pemilu, tapi setidaknya akan ada perubahan dalam sistem negara ini. Toh, tidak ada calon tunggal. Kita tidak menganut sistem seperti Orde Baru lagi: pemenangnya pasti Soeharto dan Golkar. Banyak pilihan di pemilu. Masalah ada kekurangan, itu wajar. Yang sempurna hanya Tuhan, manusia selalu tidak sempurna. Kalau alasannya semuanya hanya memberi janji surga, dan hasilnya akan sama saja, saya merasa itu pandangan yang skeptis. Perubahan selalu ada, jadi kenapa tidak memberi keesempatan untuk menghadirkan perubahan itu? Jika dipikir bahwa perubahan tidak akan signifikan, setidaknya ada. Daripada stagnan, tidak bergerak.
Lalu melihat penjelasan di atas apakah perlu mendukung fatwa MUI haram golput? Menurut saya tidak langsung demikian. Masalahnya harus dilihat dulu kenapa golput. Kalau golput karena tidak terdaftar DPT, apakah itu haram? Pendoktrinan haram itu bukan milik MUI, tapi milik Allah. MUI hanya menjalankan halal dan haram sesuai dengan peraturan yang dikelurakan Allah melalui kitab suci, bukan seenaknya menciptakan standar halal dan haram.
Saya tidak membenci mereka yang golput karena apatis, juga tidak melarang. Tulisan ini hanya pendapat saya yang bisa dijadikan pertimbangan untuk tidak golput. Dalam hal ini saya hanya menyesalkan saja tindakan golput yang ‘sok pahlawan’ Karena masyrarakat punya pikiran yang plural. Yang ingin ditekankan, saat itu solusinya hanya pemilu. Kalau golputers tidak puas, jangan hanya demo, tapi berikan solusi bagaimana membuat negara tidak kacau dan ada perubahan positif, selain lewat pemilu.

Dekadensi Moral

Dalam pemaparan visi-misi capres di sebuah stasiun televisi swasta, seorang budayawan bertanya pada seorang calon presiden: apa visi dan misi calon presiden tersebut untuk mengatasi penurunan moral bangsa, terutama di kalangan anak muda. Dan calon presiden tersebut menjawab bahwa salah satu program yang akan dia terapkan adalah dengan meningkatkan keimanan melalui pemdidikan agama.

Pertanyaan dan jawaban tersebut justru menimbulkan pertanyaan lagi bagi saya. Bukan sebuah pertanyaan tentang detail dari visi dan misi capres, melainkan tentang penurunan moral. Mengapa akhir-akhir ini orang kerap berbicara tentang moral bangsa yang menurun? Mengapa dikatakan bahwa kini orang-orang mengalami dekadensi moral? Apa ukuran dari dekadensi moral yang dimaksud?
Selama ini dikatakan bahwa dekadensi moral terjadi karena kita melihat tindakan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, yang lebih ‘tidak berbudi’. Saat ini orang miris melihat anak muda menikmati seks dengan begitu bebas, orang-orang yang mengandalkan segala cara untuk mendapatkan uang, dan sebagainya. Dulu orang-orang tidak melakukan itu, tidak mengandalkan cara-cara kotor demi ambisi, anak-anak muda pun masih ‘sopan’, tidak bandel seperti sekarang.

Sebuah Perbandingan
Jika berasumsi bahwa saat ini terjadi dekadensi moral, mengacu pada penjelasan zaman dulu akhlak manusia lebih terpuji dibandingkan sekarang, maka dekadensi moral bukanlah sebuah hal yang muncul tiba-tiba. Mungkin istilah “dekadensi moral” baru muncul saat ini, tapi keberadaan dekadensi moral yang berarti penurunan moral sudah ada dan terus ada. Dekadensi moral bukan hanya milik orang-orang sekarang, dan tidak hanya terjadi di abad 21 ini.
Dekadensi moral terus terjadi, tiap tahun, bahkan tiap detik! Mengapa? Karena jika melihat saat ini masyarakat berbicara tentang adanya penurunan moral, maka intinya hanya terletak pada perbandingan. Bagaimana membandingkan manusia dulu dan sekarang. Dulu, akhlak manusia lebih baik; sekarang lebih ancur; di kemudian hari akhlak manusia lebih hancur lagi.
Kita bisa mengambil contoh sebuah dekadensi moral tahun 60-an. Pada saat itu anak-anak muda sudah kenal ganja, dan gaya hidup serba bebas. Mungkin buat orang sekarang dua hal itu bukan hal-hal yang aneh. Tapi bandingkan moral tahun 60-an dengan moral tahun 40-an. Ganja dan gaya hidup bebas tentunya barang yang ‘aneh’ dan ‘tercela’ pada masa itu. Berarti ada dekadensi moral, kan, tahun 60-an? Lalu tahun 40-an dekadensi moral juga terjadi jika dibandingkan dengan tahun 20-an. Dan begitu seterusnya. Dekadensi moral terus terjadi, karena kita juga terus membandingkan dengan zaman sebelumnya.
Jika dikatakan bahwa orang-orang sekarang lebih manja, dan lebih malas, saya rasa kurang tepat. Tidak ada ukuran yang pasti tentang hal tersebut. Mungkin jika dibandingkan dengan mereka yang hidup tahun 20-an, masyarakat sekarang memang lebih manja. Tapi belum tentu kita saat ini lebih malas dan lebih manja daripada mereka yang hidup dua puluh atau tiga puluh tahun lagi.

Implikasi Kemajuan Zaman
Sebenarnya (selalu) munculnya dekadensi moral harus dilihat juga dari konteks zamannya. Perkembangan zaman menimbulkan dampak positif dalam hal teknologi, tapi berdampak buruk pada moral manusia. Manusia menjadi semakin ‘liar’ karena tuntutan hidup yang makin tinggi. Kalau dulu manusia hanya butuh sandang, papan, dan pangan, maka kini bertambah lagi, pendidikan. Bertambahnya kebutuhan ini tidak lepas dari usaha manusia untuk dapat bertahan di tengah sengitnya kompetisi antar manusia untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
Perkembangan zaman menjadikan moral manusia semakin turun. Karena pada akhirnya manusia mengandalkan berbagai cara untuk bertahan. Inilah yang akhirnya memicu munculnya dekadensi moral. Padahal zaman yang semakin berkembang tidak bisa dihindari, sama dengan tidak bisa menghentikan waktu untuk terus berputar. Jadi dekadensi moral tak terhindarkan. Peningkatan keimanan adalah salah satu cara untuk perbaikan moral. Dalam hal ini perbaikan moral bukan berarti menghentikan penurunan moral, tapi memperlambat.